Pengertian Perjanjian Pengangkutan - Perjanjian pengangkutan salah satu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan kondusif membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. ( Pengertian Perjanjian Pengangkutan Contoh Barang Melalui Laut )
Contoh Perjanjian Pengangkutan - Menurut undang-undang seorang juru pengangkut (Belanda : ver voer der, Inggris : carrier) hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, jadi tidaklah perlu bahwa ia sendiri mengusahakan sebuah alat pengangkut, meskipun pada umumnya (biasanya) ia sendiri yang mengusahakannya.
Selanjutnya berdasarkan undang-undang ada perbedaan antara seorang pengangkut dan seorang ekspeditur, yang terakhir ini hanya memperlihatkan jasa-jasanya dalam soal penerimaannya barang saja dan pada hakekatnya hanya memperlihatkan perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dan pihak yang mengangkut barang saja.
Pada umumnya dalam suatu perjanjian pengangkutan pihak pengangkut yaitu bebas untuk menentukan sendiri alat pengangkutan yang hendak dipakainya. Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lainnya, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai pengangkutan yang akan diselenggarakan itu apabila terjadi kelalaian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaimana berlaku untuk perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam Buku III dari KUHPerdata.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H., dalam bukunya yang berjudul Aneka Perjanjian, dikatakan bahwa :
"Dalam perjanjian pengangkutan itu pihak pengangkut sanggup dikatakan sudah mengakui mendapatkan barang-barang dan menyerahkannya kepada orang yang dialamatkan. Kewajiban yang berakhir ini sanggup dipersamakan dengan kewajiban seorang yang harus menyerahkan suatu barang berdasarkan suatu perikatan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1235 KUHPerdata, dalam perikatan mana termaktub kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sebagai 'seorang bapak rumah yang baik'. Apabila si pengangkut melalaikan kewajibannya, maka pada umumnya akan berlaku peraturan-peraturan yang untuk itu telah ditetapkan dalam Buku III dari KUHPerdata pula, yaitu dalam Pasal 1243 KUHPerdata dan selanjutnya". (Prof. R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-8, h.10)
Poerwosutjipto merumuskan definisi perjanjian pengangkutan sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Dari definisi yang dikemukakan tersebut perjanjian pengangkutan hanya mencakup perjanjian antara pengangkut dan pengirim saja, tidak termasuk perjanjian antara pengangkut dan penumpang. Dengan kata lain hanya mencakup perjanjian pengangkutan barang.
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkutan dan pengirim untuk pengangkutan barang pengangkut. Perjanjian pengangkutan bersifat timbal balik, artinya kedua belah pihak masing-masing mempunyai kewajiban dan hak. Kewajiban pengangkut menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim membayar biaya pengangkutan.
Tetapi dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut, artinya apabila timbul kerugian pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu yaitu :
- Keadaan memaksa (over macht);
- Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri;
- Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang.
Ketiga hal ini diakui baik dalam undang-undang maupun dalam kepercayaan ilmu hukum. Diluar ketiga hal tersebut pengangkut bertanggung jawab.( H.M. Poerwosutjipto, N.S.H., Pengertian Pokok Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan, Jakarta : Djambatan, Jilid Ke-3, Cet. Ke-2, h.20)
Dengan memperhatikan batasan pengertian perihal perjanjian tersebut dengan meletakkan titik berat pada melaksanakan sesuatu hal, maka dalam perjanjian pengangkutan ini melaksanakan sesuatu hal yaitu tidak lain melaksanakan pengangkutan.
Wiwoho Soedjono, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya, menyatakan :
"Perjanjian pengangkutan itu sanggup dirumuskan sebagai suatu tragedi yang telah mengikat seseorang untuk melaksanakan pengangkutan penyeberang bahari lantaran orang tersebut telah berjanji untuk melaksanakannya, sedang orang lain telah pula berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang berupa memperlihatkan sesuatu yang berupa proteksi imbalan (upah), lantaran perjanjian itu menyangkut dua pihak, maka perjanjian demikian itu disebut perjanjian timbal balik dan karenanya menyebabkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak". (Wiwoho Soedjono, S.H., Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1987, Cet. Ke-1, h.22)
Jenis dan Azas Pengangkutan Barang di Laut
Berdasarkan Pasal 466 KUHD disebutkan sebagai berikut :
"Pengangkut dalam arti berdasarkan titel yaitu orang yang baik, lantaran penggunaan penyediaan kapal berdasarkan waktu atau penggunaan penyediaan kapal berdasarkan perjalanan, maupun lantaran perjanjian lainnya, mengikat dari untuk melaksanakan pengangkutan barang-barang seluruhnya atau sebagian menyeberang laut".
Dari ketentuan Pasal 466 KUHD tersebut sanggup diketahui, bahwa yang dimaksud dengan pengangkut ialah orang yang mengikat diri untuk melaksanakan pengangkutan menyeberang laut. Orang disini berdasarkan aturan sanggup berupa orang eksklusif (natuurlijk persoon) atau tubuh aturan (rechts persoon). Dari kata-kata mengikat diri untuk melaksanakan pengangkut sanggup ditafsirkan, bahwa pelaksanaan pengangkutan itu terjadi lantaran adanya perjanjian.
Pasal 466 KUHD sanggup juga dikatakan bahwa pengangkut dalam melaksanakan pengangkutan berdasarkan perjanjian carter, lantaran yang diangkut barang, maka ia disebut dengan pengangkut barang.
Pengangkut (Carrier).
Istilah pengangkut mempunyai dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkut dalam arti yang pertama termasuk dalam subyek pengangkutan, sedangkan pengangkut dalam arti yang kedua termasuk dalam obyek pengangkutan.
Pengangkut (Carrier).
Istilah pengangkut mempunyai dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkut dalam arti yang pertama termasuk dalam subyek pengangkutan, sedangkan pengangkut dalam arti yang kedua termasuk dalam obyek pengangkutan.
Dalam undang-undang (KUHD) tidak ada pengaturan definisi pengangkutan secara umum, kecuali dalam pengangkutan laut, tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut yaitu pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya pengangkut yaitu pihak penyelenggara pengangkutan.
Pengangkut yaitu pengusaha pengangkutan yang mempunyai dan menjalankan perusahaan pengangkutan yang berbentuk :
- Perusahaan komplotan tubuh hukum, contohnya PT. Gesuri Lloyd, PT. Jakarta Lloyd, PT. Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT. Garuda Indonesia, PT. Bouraq Airlines, PT. President Taxi, Koperasi Taxi.
- Perusahaan Umum (Perum), contohnya Perum Damri.
- Perusahaan Jawatan (Perjan), contohnya PJKA.
- Perusahaan Persekutuan bukan tubuh hukum, contohnya CV Titipan Kilat.
- Perusahaan Perseorangan, contohnya Bis Malam Putra Remaja, Taksi antar kota, mikrolet.
Perusahaan pengangkutan bahari biasa juga disebut perusahaan pelayaran niaga, pengangkut yang tidak mempunyai perusahaan pengangkutan tetapi menyelenggarakan pengangkutan, hanya menjalankan pekerjaan pengangkutan.
Sama halnya dengan pengangkut, pengirim yaitu pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam KUHD juga tidak diatur definisi pengirim secara umum, tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim yaitu pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Pengirim dalam bahasa Inggris disebut "consigner", tetapi khususnya untuk pengangkutan bahari disebut "shipper".
Pengirim yaitu pemilik barang atau penjual (eksportir). Pemiliki barang sanggup berupa insan eksklusif atau perusahaan perseorangan atau perusahaan komplotan tubuh hukum, dan bukan tubuh aturan atau perusahaan umum (perum), sedangkan penjual (eksportir) selalu berupa perusahaan komplotan tubuh aturan atau bukan tubuh hukum.
Selain pengirim dan pengangkut yang dinyatakan sebagai subyek perjanjian pengangkutan, ada ekspeditur (biro perjalanan) yang dalam bahasa Inggrisnya disebut "cargo forwarder", lantaran mempunyai kekerabatan yang sangat bersahabat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima, walaupun ia bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan. Eksportir berfungsi sebagai "perantara" dalam perjanjian pengangkutan diatur dalam Buku I Bab V Bagian 2 Pasal 86 hingga dengan Pasal 90 KUHD.
Menurut ketentuan Pasal 86 ayat 1 KUHD, ekspeditur yaitu orang yang pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau di perairan bagi pengirim. Dilihat dari perjanjiannya dengan pengirim, ekspeditur yaitu pihak yang mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi pengirim, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Kaprikornus pada kenyataannya ekspeditur hanya mencarikan pengangkut bagi pengirim. Ekspeditur bukan pengangkut. Apabila ia menciptakan perjanjian pengangkutan dengan pengangkut, ia bertindak atas nama pengirim yang menjadi pihak yaitu pengirim, bukan ekspeditur. Ekspeditur yaitu pengusaha yang menjalankan perusahaan persekutuan.
Badan aturan dalam bidang perjuangan ekspedisi muatan barang, menyerupai ekspedisi muatan kapal udara (EMKU). Sebagai wakil pengirim dan atau penerima, ekspeditur mengurus banyak sekali macam dokumen dan formalitas yang diharapkan guna memasukkan dan atau mengeluarkan barang dari alat pengangkutan atau gudang pelabuhan. Sebagaimana dijelaskan oleh Sudjatmiko (1979) bahwa dalam pengangkutan bahari kiprah dan kewajiban ekspeditur mengekspedisi muatan keluar/ekspor sudah selesai bila barang sudah dimuat ke atas kapal dan bill of loding sudah diterimanya untuk diserahkan kepada pemberi kuasa (pengirim). Selanjutnya dijelaskannya bahwa pengurusan pekerjaan muatan impor pekerjaan eksportrir mulai dari pembuatan dokumen impor hingga pembayaran dan biaya-biaya yang berkenaan dengan pengeluaran barang dari gudang pabean untuk selanjutnya diserahkan kepada prinsipalnya di kawasan bebas (yaitu kawasan di luar pengawasan bea dan cukai). Untuk melaksanakan pekerjaannya, perusahaan ekspedisi biasanya mempunyai truk-truk sendiri biar urusan pengangkutan barang dari dan ke gudang pemilik barang diselenggarakan lebih gampang dan efisien. (Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6)
Pengatur muatan dalam bahasa Inggrisnya disebut "stevedore". Pengatur muatan yaitu orang yang menjalankan perjuangan dalam bidang pemuatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari kapal. Pengatur muatan C yaitu orang yang mahir dan pintar menempatkan barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang dibutuhkan, dan barang-barang tidak gampang bergerak. Demikian juga saat membongkar barang-barang dari kapal diharapkan keahlian, sehingga sanggup ditangani secara gampang efisien dan tidak merugikan atau menyebabkan kerusakan. Pengatur muatan yaitu perusahaan yang bangun sendiri atau sanggup juga merupakan kepingan dari perusahaan pelayaran (pengangkut).
Apabila pengatur muatan itu merupakan kepingan dari perusahaan pelayaran (pengangkut) maka dari segi aturan perbuatan pengatur muatan yaitu perbuatan pengangkut dalam penyelenggaraan pengangkutan. Tetapi apabila ia merupakan perusahaan yang bangun sendiri, maka perbuatannya itu sanggup sebagai pelaksana kuasa dari pengirim dalam hal pemuatan, atau pelaksana kuasa dari peserta dalam hal pembongkaran. Namun demikian, segala perbuatan yang dilakukan oleh pengatur muatan di atas kapal tunduk pada peraturan yang berlaku di kapal itu. Segala perbuatan melawan aturan yang dilakukan oleh pengatur muatan dan anak buahnya menjadi tanggung jawab pengangkut (Pasal 321 KUHD).
Selain yang sudah dijelaskan di atas masih ada lagi yang berkaitan dengan perjanjian pengangkutan yang perlu dijelaskan, yaitu : perusahaan pergudangan (warehousing) dan peserta (consignee). Perusahaan pergudangan yaitu perusahaan yang bergerak dibidang perjuangan penyimpanan barang-barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu pengeluarannya dari gudang, yang berada dibawah pengawasan Dinas Bea Cukai. Dalam sebuah pelabuhan terdapat tiga macam gudang, yaitu gudang bebas, gudang entrepot dan gudang pabean. Dalam rangka pengapalan, gudang pabean ini yaitu yang terpenting lantaran barang-barang yang gres saja diturunkan dari kapal atau barang-barang yang segera akan dimuat ke kapal disimpan dalam gudang pabean ini. Disini Dinas Bea dan Cukai perlu campur tangan, lantaran barang-barang yang akan/baru dimuat/dibongkar dari/ke kapal harus menuntaskan dahulu pembayaran bea-beanya sebelum dilepas dari gudang.( Ibid)
Khusus pada pengangkutan laut, ekspedisi muatan kapal laut, perjuangan mengatur muatan, perjuangan pergudangan termasuk dalam jenis perjuangan penunjang angkutan laut. Hal ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1988 perihal Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1988 dinyatakan bahwa untuk menjalankan perjuangan penunjang angkutan bahari wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Dilakukan oleh tubuh aturan Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Memiliki dan atau menguasai peralatan yang sesuai dengan bidang usahanya;
- Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1988 ditentukan bahwa untuk menjalankan perjuangan penunjang angkutan bahari tersebut wajib dimiliki izin perjuangan yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Perusahaan penunjang angkutan bahari yang telah memperoleh izin perjuangan wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan bagi masing-masing acara yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan Menteri disini yaitu Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang perhubungan laut.
Dalam perjanjian pengangkutan, peserta mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal peserta yaitu pengirim, maka peserta yaitu pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam hal peserta yaitu pihak ketiga yang berkepentingan peserta bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, tetapi tergolong juga sebagai subyek aturan pengangkutan.
Kenyataannya, peserta yaitu pengirim yang sanggup diketahui dari dokumen pengangkutan. Selain itu juga dari dokumen pengangkutan sanggup diketahui bahwa peserta yaitu pembeli (importir). Kaprikornus sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Penerima juga yaitu pihak yang memperoleh kuasa untuk mendapatkan barang yang dikirimkan kepadanya. Jadi, peserta berposisi atas nama pengirim. Penerima yang berposisi sebagai pembeli (importir) selalu pengusaha yang menjalankan perusahaan tubuh aturan atau bukan tubuh hukum.
Adapun jenis-jenis pengangkutan memperlihatkan keaneka ragaman peraturan aturan yang mengatur bidang pengangkutan. Jenis pengangkutan itu ialah pengangkutan darat, bahari dan udara. Ketiga-tiganya memakai alat pengangkutan yang digerakkan secara mekanik. Undang-undang yang mengatur tiap jenis pengangkutan itu berlainan satu sama lain. Padahal pengangkutan itu intinya satu macam, hanya dibedakan oleh jalur yang ditempuh, yaitu daratan, lautan dan udara. Masalahnya ialah faktor-faktor apa yang membedakan ketiga jenis pengangkutan itu dalam pengaturannya?
Pada umumnya perjanjian pengangkutan dibentuk tidak tertulis, yang penting ialah persetujuan antara pihak-pihak yang mengesahkan kekerabatan kewajiban dan hak. Kewajiban dan hak yang disahkan itu sudah dirumuskan dalam undang-undang pengangkutan. Jadi, perjanjian pengangkutan itu pada hakekatnya memberlakukan kewajiban dan hak yang ditetapkan dalam undang-undang kepada kedua belah pihak. Apa kata undang-undang itulah yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak. (Muhammad Abdul Kadir, Hukum Pengangkutan Udara, Laut dan Darat, Jakarta : PT. Citra Aditya Bhakti, 1994, h.7)
Ada dua pembagian terstruktur mengenai undang-undang yang mengatur pengangkutan, yaitu undang-undang yang bersifat keperdataan dan undang-undang yang bersifat administratif. Sedangkan yang akan menjadi pokok pembahasan disini yaitu undang-undang yang bersifat keperdataan saja. Undang-undang yang mengatur pengangkutan ada yang berbentuk kodifikasi, yaitu KUHD dan KUHPerdata, dan ada yang berbentuk undang-undang biasa, yaitu yang terdapat diluar KUHD dan KUHPerdata, lantaran ada tiga jenis pengangkutan, maka ada tiga macam pula undang-undang pengangkutan, dan pembahasannya melalui tiap jenis pengangkutan itu yaitu :
1. Undang-undang Pengangkutan Darat
Buku I Bab V Bagian 2 dan 3 Pasal 90 hingga dengan Pasal 98 KUHD memuat ketentuan mengenai pengangkutan laut. Ketentuan ini bersifat lex generalis, artinya berlaku umum untuk semua jenis pengangkutan darat. Undang-undang No. 3 Tahun 1965 (LN. No. 25 Tahun 1965) memuat ketentuan mengenai kemudian lintas dan angkutan jalan raya, kedua undang-undang ini bersifat lex specialis, artinya hanya berlaku khusus bagi tiap jenis pengangkutan darat yang bersangkutan.
2. Undang-undang Pengangkutan Laut
Buku II Bab V KUHD perihal perjanjian carter kapal, Buku II Bab V-A KUHD perihal pengangkutan barang, Buku II Bab V-B KUHD perihal pengangkutan penumpang. Tiga kepingan ini memuat ketentuan mengenai pengangkutan laut. Apabila diperhatikan, maka undang-undang pengangkutan darat sebagian terkodifikasi dalam KUHD, sedangkan undang-undang pengangkutan bahari semuanya terkodifikasi dalam KUHD.
3. Undang-undang Pengangkutan Udara
Stb. 1939-100 perihal Ordonansi Pengangkutan Udara memuat ketentuan mengenai pengangkutan udara. Pengangkutan udara tidak menerima pengaturan dalam KUHD. Jadi, tidak terkodifikasi sama sekali. Undang-undang No. 83 tahun 1958 (LN No. 159 Tahun 1958) perihal Penerbangan Lebih Banyak Bersifat Publik Administratif.
Sedangkan mengenai azas pengangkutan yang mendasari perjanjian pengangkutan barang di laut, yaitu :
1. Azas konsensual
Azas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya hampir semua perjanjian pengangkutan darat, bahari dan udara dibentuk secara tidak tertulis (lisan), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis, melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibentuk secara tertulis lantaran kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan undang-undang. Tetapi apabila undang-undang tidak menentukan (tidak mengatur) kewajiban dan hak yang wajib mereka penuhi, diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan. Apabila terjadi perselisihan mereka selesaikan melalui musyawarah atau melalui arbitrase atau melalui pengadilan, tetapi kenyataannya sedikit sekali atau hampir tidak ada kasus mereka yang diselesaikan melalui arbitrase atau Pengadilan. Mereka memegang prinsip lebih baik rugi sedikit dari pada rugi banyak, lantaran biaya Pengadilan yang belum tentu pula memuaskan semua pihak.
Azas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya hampir semua perjanjian pengangkutan darat, bahari dan udara dibentuk secara tidak tertulis (lisan), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis, melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibentuk secara tertulis lantaran kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan undang-undang. Tetapi apabila undang-undang tidak menentukan (tidak mengatur) kewajiban dan hak yang wajib mereka penuhi, diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan. Apabila terjadi perselisihan mereka selesaikan melalui musyawarah atau melalui arbitrase atau melalui pengadilan, tetapi kenyataannya sedikit sekali atau hampir tidak ada kasus mereka yang diselesaikan melalui arbitrase atau Pengadilan. Mereka memegang prinsip lebih baik rugi sedikit dari pada rugi banyak, lantaran biaya Pengadilan yang belum tentu pula memuaskan semua pihak.
2. Azas koordinasi
Azas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan "pelayanan jasa", azas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian dalam perjanjian pengangkutan darat, bahari dan udara ternyata pihak pengangkutan bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.
3. Azas campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan adonan dari tiga jenis perjanjian, yaitu proteksi kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkutan dan melaksanakan pekerjaan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Dengan demikian ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam perjanjian pengangkutan, kecuali bila perjanjian pengangkutan mengatur lain. Berdasarkan hasil penelitian ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah yang berlaku, bila dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, makadiantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu sanggup diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
4. Azas tidak ada hak retensi
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian tidak dibenarkan, penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, contohnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
Daftar Pustaka Pengertian Perjanjian Pengangkutan Contoh Barang Melalui Laut
Muhammad Abdul Kadir, Hukum Pengangkutan Udara, Laut dan Darat, Jakarta : PT. Citra Aditya Bhakti, 1994, h.7
H.M. Poerwosutjipto, N.S.H., Pengertian Pokok Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan, Jakarta : Djambatan, Jilid Ke-3, Cet. Ke-2, h.20
Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6
Wiwoho Soedjono, S.H., Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1987, Cet. Ke-1, h.22
Prof. R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-8, h.10
0 Response to "Pengertian Perjanjian Pengangkutan Pola Barang Melalui Laut"
Post a Comment