PERAN ADMINISTRASI BISNIS DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
Studi manajemen bisnis bukan merupakan suatu bidang yang baru, melainkan telah dikenal semenjak lama; dahulu barangkali masih dinamakan manajemen niaga. Akan tetapi, posisi ilmu manajemen bisnis cukup umur ini kerap menjadi rancu, seakan-akan terjadi over-lapping dengan ilmu manajamen. Inilah tema yang ingin dikupas dalam goresan pena singkat ini. Ini penting untuk dipahami, semoga kita sanggup melihat dengan lebih terperinci dimana bahwasanya posisi manajemen bisnis itu sendiri, dan dengan demikian sanggup mendefinisikan domain atau wilayah kajian yang bahwasanya dari disiplin ilmu ini.
Selain itu, secara praktis, ini berimplikasi kepada perumusan gagasan-gagasan yang lebih tajam dan inovatif, dimana manajemen bisnis perlu berbagi anutan yang sesuai dengan bidang kajiannya, yakni memperlihatkan kerangka ilmiah kepada acara bisnis yang berkembang di masyarakat. Ini penting sebagai bentuk dukungan kasatmata dunia akademis kepada masyarakat.
Selain itu, secara praktis, ini berimplikasi kepada perumusan gagasan-gagasan yang lebih tajam dan inovatif, dimana manajemen bisnis perlu berbagi anutan yang sesuai dengan bidang kajiannya, yakni memperlihatkan kerangka ilmiah kepada acara bisnis yang berkembang di masyarakat. Ini penting sebagai bentuk dukungan kasatmata dunia akademis kepada masyarakat.
Administrasi dan Manajemen
Mengapa harus dibedakan antara manajemen dan manajemen? Tentu saja, alasannya pada hakekatnya keduanya ialah bidang yang terpisah dan mempunyai fokus penerapan yang berbeda pula pada level praktek. Kedua hal ini diharapkan dalam mengelola organisasi, termasuk di bidang bisnis, alasannya masing-masing menyumbangkan kiprah tersendiri. Namun, sekali lagi, manajemen dan manajemen ialah dua hal yang berbeda. Untuk organisasi-organisasi bisnis kita sanggup menerapkan pembedaan berikut ini:
Administration is the function of industry concerned with the determination of corporate policy, co-ordination of production, finance and distribution, the settlement of the compass of the organization and the ultimate control of the executive… Management is the function of industry concerned with the carrying out of policy within the limits set up by administration and the employment of the organization for particular objects set before it (Sheldon, 1924; Urwick, 1929, 115-116; Dunsire, 1973, 43).
Jadi, dalam organisasi bisnis, manajemen ialah fungsi industri yang berkaitan dengan penetapan kebijakan perusahaan, koordinasi produksi, keuangan dan distribusi, penentuan arah organisasi dan kontrol tertinggi eksekutif. Singkatnya, manajemen bertugas memilih setting bagi perusahaan untuk bergerak maju. Sementara, manajemen ialah fungsi dari organisasi yang bertugas melaksanakan kebijakan dalam batas-batas yang ditetapkan manajemen dan menggerakkan sumberdaya organisasi ke arah tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pemahaman terhadap perbedaan yang fundamental antara manajemen dan manajemen ini, bukan sekedar upaya untuk membedakan satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain yang secara kebetulan mempunyai kemiripan. Di dalam perbedaan tersebut terdapat konsekuensi simpel maupun teoritis, sehingga perlu dicermati untuk menghindari kerancuan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya.
Pemahaman terhadap perbedaan yang fundamental antara manajemen dan manajemen ini, bukan sekedar upaya untuk membedakan satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain yang secara kebetulan mempunyai kemiripan. Di dalam perbedaan tersebut terdapat konsekuensi simpel maupun teoritis, sehingga perlu dicermati untuk menghindari kerancuan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya.
Salah satu pola lain, kita sanggup melihat perbedaan berikut ini:
Di sini sanggup dicermati adanya pemisahan yang terperinci antara fungsi manajemen dan fungsi manajemen dalam bisnis. Bahwa dalam bidang bisnis, manajemen ialah meliputi penyelenggaraan operasi-operasi bisnis, yakni menciptakan dan mengimplementasikan keputusan-keputusan besar (major decision) bagi organisasi.
Sebaliknya, manajemen sanggup dipandang ialah bab (subset) atau perpanjangan tangan administrasi, khususnya berkaitan dengan unsur-unsur teknis dan keseharian di dalam operasi organisasi. Manajemen berdiri terpisah dari kiprah eksekutif dan strategik yang merupakan kiprah pokok administrasi. Oleh alasannya itu, manajemen sanggup didefinisikan sebagai suatu proses universal yang mengorganisasikan insan dan sumberdaya secara efisien, sedemikian rupa sehingga mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi kepada sasaran-sasaran dan tujuan bersama.
Kita sanggup memahami bahwa di tingkat praktek barangkali akan sulit menarik garis pemisah yang tegas antara manajemen dan manajemen. Kedua-duanya difungsikan untuk menggerakkan organisasi mencapai tujuan-tujuannya, dan kedua-duanya dimaksudkan untuk mengelola sumberdaya organisasi (baik faktor insan maupun material) sebaikbaiknya. Seolah-olah keduanya berbaur menjadi satu pada level praktek. Namun, setidaktidaknya perbedaan ini harus diperlihatkan dengan terperinci pada level teoritik atau kajian keilmuan. Ini dimaksudkan semoga tidak terjadi kerancuan atau salah menempatkan posisi bidang ilmu.
Hodgkinson (1978: 5) sangat perhatian terhadap persilangan posisi ini. Ia mendefinisikan manajemen sebagai: ”those aspects dealing more with the formulation of purspose, the value-laden issues, and the human component of organizations”. Sementara manajemen diartikan, “those aspects wich more routine, definitive, programmatic, and susceptible to quantitative methods.” Jadi, manajemen ialah aspek-aspek yang lebih berurusan dengan penetapan arah organisasi, sementara manajemen mengurusi bagaimana mencapai arah yang telah ditetapkan tersebut. Oleh alasannya itu Hodgkinson meletakkan manajemen pada level atas (para pengambil keputusan tertinggi dalam organisasi), sementara manajemen ada pada level menengah-bawah.
Administrasi berorientasi pada tujuan (end-oriented) sementara manajemen berorientasi pada sarana atau cara (means-oriented). Dia mengutip pula Herbet A. Simon (1957), yang dalam bukunya Administrative Behavior mendefinisikan adminsitrasi secara amat simpel sebagai “the art of getting things done”. Kendati ringkas, namun pengertian ini memadai alasannya menekankan manajemen sebagai seni (art), sementara manajemen lebih akrab kepada teknis (science). Sampai di sini kita bisa menarik sebuah kesimpulan, bahwa titik-berat ilmu manajemen bisnis ialah memimpin bisnis, dalam arti memutuskan arah dan mengelola proses organisasi secara makro untuk mendapatkan hasil yang seoptimal mungkin dari sumberdaya yang ada.
Kemampuan seorang eksekutif bisnis bukan semata-mata diukur dari seberapa efisien dan efektif ia memimpin, melainkan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah arah kepemimpinannya akan membawa suatu bisnis ke arah yang tepat, atau tidak? Apakah ia bisa memakai seni kepemimpinannya untuk menggerakan unsur insan dalam organisasi, atau tidak? Apakah ia bisa merefleksikan posisi organisasi di dalam lingkungan operasionalnya dan memutuskan seni manajemen yang tepat, atau tidak? Singkatnya, semua ini ialah ukuran-ukuran kualitatif dari suatu proses bisnis. Sementara seorang manajer tidak dituntut demikian, melainkan lebih pada pertanggung-jawaban terhadap penggunaan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, alat ukurnya ialah metode kuantitatif. Apa implikasi dari perbedaan kiprah dan tanggung-jawab tersebut? Jika dilihat dari sudut-pandang keilmuan, berarti mereka yang mempelajari ilmu manajemen bisnis harus mengenal dan menguasai hal-hal yang diharapkan oleh seorang eksekutif dalam mengelola bisnis. Tentu saja, perangkat-perangkat teknis yang diharapkan untuk menjalankan organisasi bisnis perlu dikuasai, yang dalam hal ini ialah ilmu manajemen bisnis. Namun yang lebih mendasar, bahwa pengelolaan bisnis di tangan seorang eksekutif membutuhkan pula pemahaman terhadap kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan penentuan seni manajemen organisasi. Inilah fokus perhatian yang dihentikan ditinggalkan atau dilupakan dalam mempelajari manajemen bisnis.
Profil Entrepreneurship
Kalau kita setuju bahwa manajemen bergerak pada upper level dan terutama bersifat kebijakan, dan bahwa kiprah dan fungsi eksekutif dalam bisnis ialah pada level strategik dan outward-looking, maka gagasan ini membawa kita pada premis berikutnya: bahwa “adminsitrator tidak lain ialah seorang pemimpin”. Dan, jikalau dipahami dari perspektif bisnis, seorang pemimpin dibedakan dari manajer ialah dari aspek visi dan jiwa entrepreneurship.
Seorang pemimpin bisnis tidak akan membawa manfaat yang berarti bagi organisasi bisnis yang dikelolanya, kecuali ia mempunyai semangat entrepreneurship yang tinggi. Dia harus mempunyai wawasan atau horizon pandangan yang luas, berani mengambil keputusan yang sulit atau melawan arus, melihat jauh ke depan, dan tentu saja harus kaya dengan ide-ide asli dan segar. Tanpa kemampuan dan daya inovatif yang kuat, seorang pemimpin bisnis akan tertinggal dalam persaingan, dan tidak bisa membaca atau melihat peluang yang tersedia pada market. Organisasinya akan berada pada urutan belakang, atau sekedar pengekor dari yang sudah ada.
Warren Bennis (1989), On Becoming a Leader, menjelaskan perbedaan manajer dan leader sebagai berikut:
Pada tataran ideal inilah seharusnya mereka yang mempelajari manajemen bisnis menempatkan dirinya. Pemahaman yang mendalam mengenai apa dan siapa itu entrepreneur merupakan dasar dalam memahami kajian manajemen bisnis. Termasuk di sini barangkali salah-paham yang kerap terjadi ketika orang mendengar kata ”wiraswasta” atau ”wirausahawan”, dan membayangkan sosok seorang pengusaha kecil yang bergelut dengan kegiatan-kegiatan bisnis berskala minimal, katakanlah UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Pandangan ini tidak seratus persen salah, tapi sanggup menyesatkan. Pada intinya, kewiraswastaan atau entreprenurship bukan kasus besar atau kecilnya usaha, melainkan pada karakteristik khusus yang menandai cirinya sebagai tipikal seorang pemimpin bisnis. Artinya, jikalau ia seorang wirausahawan sejati maka pada suatu ketika bisnis yang ia kembangkan niscaya akan meningkat atau menanjak, dan tidak menutup kemungkinan mencapai skala besar.
Bill Gates barangkali salah satu sosok wirasuhawan kontemporer yang ketika ini paling dikenal, alasannya terhitung telah menjadi orang terkaya di dunia (konon ia memulai bisnisnya dari ruang garasi). Tekad dan kegigihan seorang pemimpin bisnis inilah yang seharusnya menjadi ranah manajemen bisnis. Tentu saja, semua ini dalam konteks studi atau kajian akademis, bukan biografi atau sekedar dongeng suka-duka seorang bisnisman berbagi usahanya. Jadi, titik-berat kepada pendalaman mengenai hakekat kewirasuhaan itulah yang perlu ditekankan, kendati tidak semua mereka yang berguru manajemen bisnis akan menjadi wirausaha. Ini sekedar untuk menekankan domain utama disiplin ilmu kita, yakni menekankan pada aspek adminsitrasi sebagai penentu atau leader dalam organisasi bisnis.
Pentingnya Ekonomi dalam Pembangunan
Mengapa duduk kasus di atas perlu dikemukakan secara terperinci, tidak lain ialah semoga ilmu manajemen bisnis sanggup menempati kiprahnya yang sesuai dalam pembangunan bangsa. Kita secara jujur harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masih sangat lemah pada aspek ini, yakni pengembangan jiwa entrepreneurship. Barangkali ketika ini tidak sedikit orang yang berkeinginan atau telah pula mencoba untuk menjadi usahawan. Tidak sedikit pula di antara mereka yang sungguh-sungguh mempunyai jiwa kewirausahaan. Artinya pada level praktek, kita barangkali tidak akan kekurangan stok entrepreneurship.
Namun, pada sisi lain, kita harus mengakui bahwa pemahaman keilmuan mengenai hal ini secara akademis masih sangat terbatas dikembangkan di Indonesia. Padahal tidak sedikit universitas atau perguruan yang mengajarkan manajemen bisnis. Boleh jadi persoalannya ialah pada tataran konseptual sebagaimana diuraikan di atas. Jika perbedaan domain antara ilmu manajemen bisnis dan manajemen tidak dipahami secara tepat, maka tidak salah kalau konsep-konsep atau gagasan yang dikembangkan juga akan ikut terbawa keliru. Ini ialah semacam otokritik bagi kita bersama, yakni orang-orang yang bergerak di lapangan keilmuan manajemen bisnis.
Dengan perangkat-perangkat keilmuan yang tidak dikembangkan dengan proporsi yang sesuai dengan domain dari disiplin ilmu itu sendiri, akan sulit diharapkan suatu kemajuan ilmiah dalam aplikasi simpel ilmu manajemen bisnis itu sendiri. Pada gilirannya, kebutuhan masyarakat akan wawasan keilmuan yang dibutuhkan untuk mendukung dunia bisnis juga tidak terpenuhi dengan baik. Menurut Schumpeter (dalam Mintzberg et.al., 1998: 125-8), seorang entrepreneur tidak mesti seseorang yang menanamkan modal awal untuk membangun suatu perjuangan atau menemukan suatu produk gres yang menjanjikan peluang. Seorang entrepreneur ialah orang yang mempunyai gagasan bisnis (business idea). Suatu gagasan barangkali kelihatan remeh atau sepele, namun di tangan seorang entrepreneur ia bisa menjadi sesuatu yang powerful, dan pada gilirannya mendatangkan laba (profitable). Dalam mengelola usaha, ia tidak dibatasi oleh kalkulasi-kalkulasi teknis atau kuantifikasi, melainkan lebih mengandalkan intuisi, evaluasi (judgment), kebijaksanaan (wisdom), pengalaman, dan pemahaman (insight).
Kreativitas mereka tidak dibatasi oleh cara-cara yang ada, melainkan bisa menemukan kombinasi-kombinasi gres yang menguntungkan, yang boleh jadi tidak dilihat orang sebelumnya. Dari klarifikasi ini, kita bisa menyampaikan bahwa akan sangat terbatas dukungan ilmu manajemen bisnis bila ia terpaku pada aspek teknis dan pengelolaan operasional dan manajemen keseharian organisasi. Justru pada domain inilah ilmu ekonomi dan manajemen tidak banyak berbicara (Minztberg, 1998: 125), alasannya sudah menempel pada aspek-aspek operasional yang cukup rumit dalam dunia bisnis. Pada sisi ini, manajemen bisnis seharusnya masuk dan memperlihatkan kontribusinya.
Jika dilihat dari perspektif makro, yakni pembangunan sebuah negara, maka kita tidak bisa memungkiri bahwa ekonomi merupakan tulang-punggung yang sangat penting. Indonesia kaya akan sumberdaya alam, jumlah penduduk, posisi geografis yang strategis di antara dua benua, dan lain-lain. Namun, tanpa pemahaman semangat kewirausahaan yang dilandasi oleh pengembangan keilmuan yang sempurna di bidang manajemen bisnis, maka segenap potensi tersebut tidak akan bisa termanfaatkan dengan baik.
Dan, kita cukup melihat kepada tetangga kita yang kecil, yakni Singapura, sebagai sekedar perbandingan. Tanpa modal kekayaan alam dan luas wilayah yang relatif sangat kecil, negara tersebut bisa menempatkan diri di tengah-tengah persaingan global yang ketat. Bahkan untuk aspek turisme, kita harus berkaca kepada negara ini. Tanpa modal kekayaan panorama alam, ragam budaya, dan lain-lain yang berlimpah kita miliki, Singapura toh tetap bisa menarik para pelancong dari aneka macam penjuru dunia.
Demikian pula untuk sektor-sektor jasa, yang mengandalkan kapasitas sumberdaya insan terdidik, negara ini termasuk yang paling menguasai di wilayah Asia Tenggara. Tentu saja, ilmu manajemen bisnis bukan satu-satunya yang patut disalahkan untuk ketertinggalan kita ini. Banyak faktor yang besar lengan berkuasa dan sanggup menjelaskan mengapa Indonesia tidak bisa membangun tulang-punggung perekonomian yang kokoh, khususnya di sektor riil. Akan tetapi, kita sanggup menyampaikan bahwa tanpa ilmu manajemen bisnis yang dikembangkan dengan baik, maka banyak duduk kasus dalam perekonomian kita yang tidak bisa terselesaikan sesuai harapan. Artinya, ini ialah kiprah penting dari ilmu administrasi. Sinergi antara ilmu dan praktek diharapkan untuk memperlihatkan hasil yang optimal dalam setiap perjuangan atau ikhtiar, apa pun itu jenisnya. Apalagi perjuangan bisnis.
Segala sesuatu harus diperhitungkan secara cermat, penuh perencanaan, dan mengandung konsekuensi pribadi terhadap kelangsungan hidup organisasi. Kombinasi antara pengembangan ilmu dan praktek bisnis sangat diperlukan, semoga potensi kewirausahaan yang ada di masyarakat menerima topangan yang kuat dari kajian-kajian ilmiah di bidang manajemen bisnis. Ini sekedar untuk menggaris-bawahi, bahwa mereka yang menekuni ilmu manajemen bisnis dihentikan hanya terbenam pada aspek-aspek teknikal dari manajemen pengelolaan organisasi bisnis. Harus ada wawasan yang lebih luas, dan bisa menempatkan konsep-konsep manajemen ke dalam konteks yang sesuai, yakni seni manajemen dan tujuan organisasi. Dan dibalik semua itu, ialah adanya pemahaman terhadap hakekat jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship sebagai tipikal kepemimpinan dalam dunia bisnis.
PENUTUP
Untuk pembangunan bangsa, barangkali tidak cukup kita hanya mengandalkan kemurahan hati alam. Harus ada tangan-tangan terampil yang mengolahnya. Dalam wacana dunia bisnis, ini berarti harus cukup tersedia ruang bagi muncul dan berkembangnya jiwa-jiwa wirausaha yang ulet. Namun, ini pun ternyata belum cukup. Harus tersedia pula kajian akademis atau dasar-dasar keilmuan yang kokoh untuk menopang aspek konseptual dari bagaimana sebuah bisnis dibangun dan dijalankan.
Peran ilmu manajemen bisnis ialah berbagi konsep-konsep dan dasar keilmuan tersebut, sedemikian rupa sehingga tidak saja acara operasional perusahaan berjalan lancar dan efisien, namun sekaligus pula menerima arah dan seni manajemen yang sempurna serta dipicu oleh semangat kepemimpinan bisnis yang berani mengambil resiko, bisa membaca peluang, dan terus melahirkan ideide kreatif dan segar. Apa yang telah dilakukan oleh kaum wirausaha di negeri kita tidak cukup dibiarkan berkembang secara alamiah, melainkan harus ditopang oleh dunia akademis, yang dalam hal ini tidak lain ialah ilmu manajemen bisnis.
Harus digaris-bawahi dalam catatan epilog ini, bahwa kewirausahaan atau entrepreneurship bukanlah satu-satunya tema sentral dalam manajemen bisnis. Ini hanya sebagian kecil dari suatu kerangka besar, yakni mengelola organisasi bisnis dari aspek penetapan kebijakan, strategi, dan orientasi organisasi serta pengelolaan aspek human. Mengapa hal ini sangat ditekankan dalam pembahasan ini, tidak lain suatu upaya untuk mencari relevansi keilmuan yang sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita. Artinya, pada aspek inilah bangsa kita barangkali harus banyak berguru dan berbenah.
Mereka yang mendalami ilmu manajemen bisnis tentunya tidak akan terlepas dari aspek-aspek teknis manajemen organisasi bisnis. Seorang pemimpin bisnis tidak akan mempunyai kompetensi yang cukup apabila ia tidak mengerti perihal detail-detail ibarat keuangan, manajemen operasi, pemasaran, distribusi, hubungan supplier, pelayanan konsumen, dan lain sebagainya. Demikian pula mereka yang mempelajari ilmu manajemen bisnis, tentu harus mempunyai dasar-dasar yang memadai pula untuk memahami aspek-aspek teknis tersebut. Hanya saja, mereka dibedakan dari rekan-rekannya yang mempelajari manajemen ialah dari konteks dan cara memahami aspek-aspek teknis tersebut.
Mereka harus membacanya dari sudut-pandang yang tepat, yakni perspektif seorang pengelola organisasi bisnis pada level penentu atau pengambil keputusan, bukan pelaksana atau manajer level menengah dan bawah. Jadi, upaya kita untuk melaksanakan reposisi terhadap domain ilmu manajemen bisnis bukan semata-mata anutan konseptual yang tidak ada relevansinya dengan praktek. Justru alasannya alasan-alasan praktikal yang telah diuraikan di atas, maka pendefinisian-ulang terhadap studi manajemen bisnis perlu segera dilakukan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
DAFTAR PUSTAKA
Bennis, W. (1989), On Becoming a Leader, Reading, Mass.: Addison-Wesley.
Dunsire, A (1973), Administration: The Word and the Science, Oxford: Martin Robertson.
Hodgkinson, C (1978), Toward a Philosophy of Administration, Oxford: Basil Blackwell.
Mintzberg, H., Ahlstrand, B. dan Lampel, J (1998), Strategy Safary: A Guided Tour Through
Wilds of Strategic Management, New York: The Three Press.
Nanus, B. (1992), Visionary Leadership, San Fransisco, Calif: Jossey-Bass.
- In business, administration consists of the performance of business operations and thus the making or implementing of major decisions. Administration can be defined as the universal process of organizing people and resources efficiently so as to direct activities toward common goals and objectives.
- In some organisational analyses, management is viewed as a subset of administration, specifically associated with the technical and mundane elements within an organization's operation. It stands distinct from executive or strategic work. (WIKIPEDIA DICTIONARWIKIPEDIA DICTIONARY)
Di sini sanggup dicermati adanya pemisahan yang terperinci antara fungsi manajemen dan fungsi manajemen dalam bisnis. Bahwa dalam bidang bisnis, manajemen ialah meliputi penyelenggaraan operasi-operasi bisnis, yakni menciptakan dan mengimplementasikan keputusan-keputusan besar (major decision) bagi organisasi.
Sebaliknya, manajemen sanggup dipandang ialah bab (subset) atau perpanjangan tangan administrasi, khususnya berkaitan dengan unsur-unsur teknis dan keseharian di dalam operasi organisasi. Manajemen berdiri terpisah dari kiprah eksekutif dan strategik yang merupakan kiprah pokok administrasi. Oleh alasannya itu, manajemen sanggup didefinisikan sebagai suatu proses universal yang mengorganisasikan insan dan sumberdaya secara efisien, sedemikian rupa sehingga mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi kepada sasaran-sasaran dan tujuan bersama.
Kita sanggup memahami bahwa di tingkat praktek barangkali akan sulit menarik garis pemisah yang tegas antara manajemen dan manajemen. Kedua-duanya difungsikan untuk menggerakkan organisasi mencapai tujuan-tujuannya, dan kedua-duanya dimaksudkan untuk mengelola sumberdaya organisasi (baik faktor insan maupun material) sebaikbaiknya. Seolah-olah keduanya berbaur menjadi satu pada level praktek. Namun, setidaktidaknya perbedaan ini harus diperlihatkan dengan terperinci pada level teoritik atau kajian keilmuan. Ini dimaksudkan semoga tidak terjadi kerancuan atau salah menempatkan posisi bidang ilmu.
Hodgkinson (1978: 5) sangat perhatian terhadap persilangan posisi ini. Ia mendefinisikan manajemen sebagai: ”those aspects dealing more with the formulation of purspose, the value-laden issues, and the human component of organizations”. Sementara manajemen diartikan, “those aspects wich more routine, definitive, programmatic, and susceptible to quantitative methods.” Jadi, manajemen ialah aspek-aspek yang lebih berurusan dengan penetapan arah organisasi, sementara manajemen mengurusi bagaimana mencapai arah yang telah ditetapkan tersebut. Oleh alasannya itu Hodgkinson meletakkan manajemen pada level atas (para pengambil keputusan tertinggi dalam organisasi), sementara manajemen ada pada level menengah-bawah.
Administrasi berorientasi pada tujuan (end-oriented) sementara manajemen berorientasi pada sarana atau cara (means-oriented). Dia mengutip pula Herbet A. Simon (1957), yang dalam bukunya Administrative Behavior mendefinisikan adminsitrasi secara amat simpel sebagai “the art of getting things done”. Kendati ringkas, namun pengertian ini memadai alasannya menekankan manajemen sebagai seni (art), sementara manajemen lebih akrab kepada teknis (science). Sampai di sini kita bisa menarik sebuah kesimpulan, bahwa titik-berat ilmu manajemen bisnis ialah memimpin bisnis, dalam arti memutuskan arah dan mengelola proses organisasi secara makro untuk mendapatkan hasil yang seoptimal mungkin dari sumberdaya yang ada.
Kemampuan seorang eksekutif bisnis bukan semata-mata diukur dari seberapa efisien dan efektif ia memimpin, melainkan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah arah kepemimpinannya akan membawa suatu bisnis ke arah yang tepat, atau tidak? Apakah ia bisa memakai seni kepemimpinannya untuk menggerakan unsur insan dalam organisasi, atau tidak? Apakah ia bisa merefleksikan posisi organisasi di dalam lingkungan operasionalnya dan memutuskan seni manajemen yang tepat, atau tidak? Singkatnya, semua ini ialah ukuran-ukuran kualitatif dari suatu proses bisnis. Sementara seorang manajer tidak dituntut demikian, melainkan lebih pada pertanggung-jawaban terhadap penggunaan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, alat ukurnya ialah metode kuantitatif. Apa implikasi dari perbedaan kiprah dan tanggung-jawab tersebut? Jika dilihat dari sudut-pandang keilmuan, berarti mereka yang mempelajari ilmu manajemen bisnis harus mengenal dan menguasai hal-hal yang diharapkan oleh seorang eksekutif dalam mengelola bisnis. Tentu saja, perangkat-perangkat teknis yang diharapkan untuk menjalankan organisasi bisnis perlu dikuasai, yang dalam hal ini ialah ilmu manajemen bisnis. Namun yang lebih mendasar, bahwa pengelolaan bisnis di tangan seorang eksekutif membutuhkan pula pemahaman terhadap kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan penentuan seni manajemen organisasi. Inilah fokus perhatian yang dihentikan ditinggalkan atau dilupakan dalam mempelajari manajemen bisnis.
Profil Entrepreneurship
Kalau kita setuju bahwa manajemen bergerak pada upper level dan terutama bersifat kebijakan, dan bahwa kiprah dan fungsi eksekutif dalam bisnis ialah pada level strategik dan outward-looking, maka gagasan ini membawa kita pada premis berikutnya: bahwa “adminsitrator tidak lain ialah seorang pemimpin”. Dan, jikalau dipahami dari perspektif bisnis, seorang pemimpin dibedakan dari manajer ialah dari aspek visi dan jiwa entrepreneurship.
Seorang pemimpin bisnis tidak akan membawa manfaat yang berarti bagi organisasi bisnis yang dikelolanya, kecuali ia mempunyai semangat entrepreneurship yang tinggi. Dia harus mempunyai wawasan atau horizon pandangan yang luas, berani mengambil keputusan yang sulit atau melawan arus, melihat jauh ke depan, dan tentu saja harus kaya dengan ide-ide asli dan segar. Tanpa kemampuan dan daya inovatif yang kuat, seorang pemimpin bisnis akan tertinggal dalam persaingan, dan tidak bisa membaca atau melihat peluang yang tersedia pada market. Organisasinya akan berada pada urutan belakang, atau sekedar pengekor dari yang sudah ada.
Warren Bennis (1989), On Becoming a Leader, menjelaskan perbedaan manajer dan leader sebagai berikut:
- Tugas manajer mengelola, kiprah pemimpin melaksanakan inovasi
- Manajer ialah copy, pemimpin ialah orisinal
- Manajer berfokus sistem dan struktur organisasi; pemimpin berfokus pada unsur insan ( people )
- Manajer menitik-beratkan kontrol; pemimpin menekankan kepercayaan (trust)
- Manajer mengambil sudut pandang jangka pendek, pemimpin melihat perspektif jangka panjang.
- Manajer memperhatikan ke dalam dan kiprah keseharian (bottom-line); pemimpin melihat keluar dan mencari visi ( horizon )
- Manajer cenderung menggandakan (imitates); pemimpin menciptakan hal gres (originates)
- Manajer mendapatkan status quo; pemimpin menantang status quo eksekutif membutuhkan pula pemahaman terhadap kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan penentuan seni manajemen organisasi. Inilah fokus perhatian yang dihentikan ditinggalkan atau dilupakan dalam mempelajari manajemen bisnis.
- Manajer ialah pelaksana yang baik (classic good soldier); pemimpin ialah pribadi tersendiri.
Pada tataran ideal inilah seharusnya mereka yang mempelajari manajemen bisnis menempatkan dirinya. Pemahaman yang mendalam mengenai apa dan siapa itu entrepreneur merupakan dasar dalam memahami kajian manajemen bisnis. Termasuk di sini barangkali salah-paham yang kerap terjadi ketika orang mendengar kata ”wiraswasta” atau ”wirausahawan”, dan membayangkan sosok seorang pengusaha kecil yang bergelut dengan kegiatan-kegiatan bisnis berskala minimal, katakanlah UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Pandangan ini tidak seratus persen salah, tapi sanggup menyesatkan. Pada intinya, kewiraswastaan atau entreprenurship bukan kasus besar atau kecilnya usaha, melainkan pada karakteristik khusus yang menandai cirinya sebagai tipikal seorang pemimpin bisnis. Artinya, jikalau ia seorang wirausahawan sejati maka pada suatu ketika bisnis yang ia kembangkan niscaya akan meningkat atau menanjak, dan tidak menutup kemungkinan mencapai skala besar.
Bill Gates barangkali salah satu sosok wirasuhawan kontemporer yang ketika ini paling dikenal, alasannya terhitung telah menjadi orang terkaya di dunia (konon ia memulai bisnisnya dari ruang garasi). Tekad dan kegigihan seorang pemimpin bisnis inilah yang seharusnya menjadi ranah manajemen bisnis. Tentu saja, semua ini dalam konteks studi atau kajian akademis, bukan biografi atau sekedar dongeng suka-duka seorang bisnisman berbagi usahanya. Jadi, titik-berat kepada pendalaman mengenai hakekat kewirasuhaan itulah yang perlu ditekankan, kendati tidak semua mereka yang berguru manajemen bisnis akan menjadi wirausaha. Ini sekedar untuk menekankan domain utama disiplin ilmu kita, yakni menekankan pada aspek adminsitrasi sebagai penentu atau leader dalam organisasi bisnis.
Pentingnya Ekonomi dalam Pembangunan
Mengapa duduk kasus di atas perlu dikemukakan secara terperinci, tidak lain ialah semoga ilmu manajemen bisnis sanggup menempati kiprahnya yang sesuai dalam pembangunan bangsa. Kita secara jujur harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masih sangat lemah pada aspek ini, yakni pengembangan jiwa entrepreneurship. Barangkali ketika ini tidak sedikit orang yang berkeinginan atau telah pula mencoba untuk menjadi usahawan. Tidak sedikit pula di antara mereka yang sungguh-sungguh mempunyai jiwa kewirausahaan. Artinya pada level praktek, kita barangkali tidak akan kekurangan stok entrepreneurship.
Namun, pada sisi lain, kita harus mengakui bahwa pemahaman keilmuan mengenai hal ini secara akademis masih sangat terbatas dikembangkan di Indonesia. Padahal tidak sedikit universitas atau perguruan yang mengajarkan manajemen bisnis. Boleh jadi persoalannya ialah pada tataran konseptual sebagaimana diuraikan di atas. Jika perbedaan domain antara ilmu manajemen bisnis dan manajemen tidak dipahami secara tepat, maka tidak salah kalau konsep-konsep atau gagasan yang dikembangkan juga akan ikut terbawa keliru. Ini ialah semacam otokritik bagi kita bersama, yakni orang-orang yang bergerak di lapangan keilmuan manajemen bisnis.
Dengan perangkat-perangkat keilmuan yang tidak dikembangkan dengan proporsi yang sesuai dengan domain dari disiplin ilmu itu sendiri, akan sulit diharapkan suatu kemajuan ilmiah dalam aplikasi simpel ilmu manajemen bisnis itu sendiri. Pada gilirannya, kebutuhan masyarakat akan wawasan keilmuan yang dibutuhkan untuk mendukung dunia bisnis juga tidak terpenuhi dengan baik. Menurut Schumpeter (dalam Mintzberg et.al., 1998: 125-8), seorang entrepreneur tidak mesti seseorang yang menanamkan modal awal untuk membangun suatu perjuangan atau menemukan suatu produk gres yang menjanjikan peluang. Seorang entrepreneur ialah orang yang mempunyai gagasan bisnis (business idea). Suatu gagasan barangkali kelihatan remeh atau sepele, namun di tangan seorang entrepreneur ia bisa menjadi sesuatu yang powerful, dan pada gilirannya mendatangkan laba (profitable). Dalam mengelola usaha, ia tidak dibatasi oleh kalkulasi-kalkulasi teknis atau kuantifikasi, melainkan lebih mengandalkan intuisi, evaluasi (judgment), kebijaksanaan (wisdom), pengalaman, dan pemahaman (insight).
Kreativitas mereka tidak dibatasi oleh cara-cara yang ada, melainkan bisa menemukan kombinasi-kombinasi gres yang menguntungkan, yang boleh jadi tidak dilihat orang sebelumnya. Dari klarifikasi ini, kita bisa menyampaikan bahwa akan sangat terbatas dukungan ilmu manajemen bisnis bila ia terpaku pada aspek teknis dan pengelolaan operasional dan manajemen keseharian organisasi. Justru pada domain inilah ilmu ekonomi dan manajemen tidak banyak berbicara (Minztberg, 1998: 125), alasannya sudah menempel pada aspek-aspek operasional yang cukup rumit dalam dunia bisnis. Pada sisi ini, manajemen bisnis seharusnya masuk dan memperlihatkan kontribusinya.
Jika dilihat dari perspektif makro, yakni pembangunan sebuah negara, maka kita tidak bisa memungkiri bahwa ekonomi merupakan tulang-punggung yang sangat penting. Indonesia kaya akan sumberdaya alam, jumlah penduduk, posisi geografis yang strategis di antara dua benua, dan lain-lain. Namun, tanpa pemahaman semangat kewirausahaan yang dilandasi oleh pengembangan keilmuan yang sempurna di bidang manajemen bisnis, maka segenap potensi tersebut tidak akan bisa termanfaatkan dengan baik.
Dan, kita cukup melihat kepada tetangga kita yang kecil, yakni Singapura, sebagai sekedar perbandingan. Tanpa modal kekayaan alam dan luas wilayah yang relatif sangat kecil, negara tersebut bisa menempatkan diri di tengah-tengah persaingan global yang ketat. Bahkan untuk aspek turisme, kita harus berkaca kepada negara ini. Tanpa modal kekayaan panorama alam, ragam budaya, dan lain-lain yang berlimpah kita miliki, Singapura toh tetap bisa menarik para pelancong dari aneka macam penjuru dunia.
Demikian pula untuk sektor-sektor jasa, yang mengandalkan kapasitas sumberdaya insan terdidik, negara ini termasuk yang paling menguasai di wilayah Asia Tenggara. Tentu saja, ilmu manajemen bisnis bukan satu-satunya yang patut disalahkan untuk ketertinggalan kita ini. Banyak faktor yang besar lengan berkuasa dan sanggup menjelaskan mengapa Indonesia tidak bisa membangun tulang-punggung perekonomian yang kokoh, khususnya di sektor riil. Akan tetapi, kita sanggup menyampaikan bahwa tanpa ilmu manajemen bisnis yang dikembangkan dengan baik, maka banyak duduk kasus dalam perekonomian kita yang tidak bisa terselesaikan sesuai harapan. Artinya, ini ialah kiprah penting dari ilmu administrasi. Sinergi antara ilmu dan praktek diharapkan untuk memperlihatkan hasil yang optimal dalam setiap perjuangan atau ikhtiar, apa pun itu jenisnya. Apalagi perjuangan bisnis.
Segala sesuatu harus diperhitungkan secara cermat, penuh perencanaan, dan mengandung konsekuensi pribadi terhadap kelangsungan hidup organisasi. Kombinasi antara pengembangan ilmu dan praktek bisnis sangat diperlukan, semoga potensi kewirausahaan yang ada di masyarakat menerima topangan yang kuat dari kajian-kajian ilmiah di bidang manajemen bisnis. Ini sekedar untuk menggaris-bawahi, bahwa mereka yang menekuni ilmu manajemen bisnis dihentikan hanya terbenam pada aspek-aspek teknikal dari manajemen pengelolaan organisasi bisnis. Harus ada wawasan yang lebih luas, dan bisa menempatkan konsep-konsep manajemen ke dalam konteks yang sesuai, yakni seni manajemen dan tujuan organisasi. Dan dibalik semua itu, ialah adanya pemahaman terhadap hakekat jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship sebagai tipikal kepemimpinan dalam dunia bisnis.
PENUTUP
Untuk pembangunan bangsa, barangkali tidak cukup kita hanya mengandalkan kemurahan hati alam. Harus ada tangan-tangan terampil yang mengolahnya. Dalam wacana dunia bisnis, ini berarti harus cukup tersedia ruang bagi muncul dan berkembangnya jiwa-jiwa wirausaha yang ulet. Namun, ini pun ternyata belum cukup. Harus tersedia pula kajian akademis atau dasar-dasar keilmuan yang kokoh untuk menopang aspek konseptual dari bagaimana sebuah bisnis dibangun dan dijalankan.
Peran ilmu manajemen bisnis ialah berbagi konsep-konsep dan dasar keilmuan tersebut, sedemikian rupa sehingga tidak saja acara operasional perusahaan berjalan lancar dan efisien, namun sekaligus pula menerima arah dan seni manajemen yang sempurna serta dipicu oleh semangat kepemimpinan bisnis yang berani mengambil resiko, bisa membaca peluang, dan terus melahirkan ideide kreatif dan segar. Apa yang telah dilakukan oleh kaum wirausaha di negeri kita tidak cukup dibiarkan berkembang secara alamiah, melainkan harus ditopang oleh dunia akademis, yang dalam hal ini tidak lain ialah ilmu manajemen bisnis.
Harus digaris-bawahi dalam catatan epilog ini, bahwa kewirausahaan atau entrepreneurship bukanlah satu-satunya tema sentral dalam manajemen bisnis. Ini hanya sebagian kecil dari suatu kerangka besar, yakni mengelola organisasi bisnis dari aspek penetapan kebijakan, strategi, dan orientasi organisasi serta pengelolaan aspek human. Mengapa hal ini sangat ditekankan dalam pembahasan ini, tidak lain suatu upaya untuk mencari relevansi keilmuan yang sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita. Artinya, pada aspek inilah bangsa kita barangkali harus banyak berguru dan berbenah.
Mereka yang mendalami ilmu manajemen bisnis tentunya tidak akan terlepas dari aspek-aspek teknis manajemen organisasi bisnis. Seorang pemimpin bisnis tidak akan mempunyai kompetensi yang cukup apabila ia tidak mengerti perihal detail-detail ibarat keuangan, manajemen operasi, pemasaran, distribusi, hubungan supplier, pelayanan konsumen, dan lain sebagainya. Demikian pula mereka yang mempelajari ilmu manajemen bisnis, tentu harus mempunyai dasar-dasar yang memadai pula untuk memahami aspek-aspek teknis tersebut. Hanya saja, mereka dibedakan dari rekan-rekannya yang mempelajari manajemen ialah dari konteks dan cara memahami aspek-aspek teknis tersebut.
Mereka harus membacanya dari sudut-pandang yang tepat, yakni perspektif seorang pengelola organisasi bisnis pada level penentu atau pengambil keputusan, bukan pelaksana atau manajer level menengah dan bawah. Jadi, upaya kita untuk melaksanakan reposisi terhadap domain ilmu manajemen bisnis bukan semata-mata anutan konseptual yang tidak ada relevansinya dengan praktek. Justru alasannya alasan-alasan praktikal yang telah diuraikan di atas, maka pendefinisian-ulang terhadap studi manajemen bisnis perlu segera dilakukan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
DAFTAR PUSTAKA
Bennis, W. (1989), On Becoming a Leader, Reading, Mass.: Addison-Wesley.
Dunsire, A (1973), Administration: The Word and the Science, Oxford: Martin Robertson.
Hodgkinson, C (1978), Toward a Philosophy of Administration, Oxford: Basil Blackwell.
Mintzberg, H., Ahlstrand, B. dan Lampel, J (1998), Strategy Safary: A Guided Tour Through
Wilds of Strategic Management, New York: The Three Press.
Nanus, B. (1992), Visionary Leadership, San Fransisco, Calif: Jossey-Bass.
Untuk lebih lengkap makalahnya silakan klik dibawah ini!!!
Download disini!
0 Response to "Peran Manajemen Bisnis Dalam Pembangunan Bangsa"
Post a Comment