Pengertian Metodologi Studi Islam, Tujuan Mempelajari Serta Manfaat

Pengertian metodologi studi Islam - Metodologi Studi Islam terdiri dari dua kata yaitu metodologi dan Studi Islam. Dalam bahasa Arab Metodologi Studi Islam dipahami sebagai Dirosah Islamiyah, dalam bahasa Inggris Islamic Studies, dalam istilah Jerman Islam wissenschaft. (Wissenschaft mempunyai makna ganda yang utuh, sebagai ilmu (science) maupun pengetahuan (knowledge), yang tidak dijumpai padanannya dalam bahasa Inggris (Lihat R.Pumer, Religionswissenchaft or religiology, dalam numen, no. 19, 1972, 103)

Metodologi berasal dari bahasa latin methodologia,  methodus + -logia –logy. Istilah ini pertama kali digunakan  pada tahun 1800. Metodologi dimaknai A system of broad principles or rules from which specific methods or procedures may be derived to interpret or solve different problems within the scope of a particular discipline. Unlike an algorithm, a methodology is not a formula but a set of practices. (sebagai Sebuah sistem yang luas dari prinsip atau hukum dari   metode atau mekanisme yang khusus  diturunkan untuk menafsirkan atau memecahkan banyak sekali masalah dalam lingkup tertentu dari sebuah disiplin ilmu. Tidak menyerupai algoritma , metodologi bukanlah rumus tetapi satu set praktek.  Sedangkan studi Islam dipahami sebagai kajian yang bersifat ilmiah dan objektif dalam memahami perihal Islam. (http://www.businessdictionary.com/definition/methodology.html#ixzz1o06JmZQw) 
Studi Islam adalah sebuah upaya yang bersifat aspektual, polimetodis, pluralistik dan tanpa batas yang tegas. Ia bersifat aspektual dalam arti bahwa Islam harus diperlakukan sebagai salah satu aspek yang eksistensi. Sedangkan studi Islam bersifat polimetodis dalam arti bahwa banyak sekali metode atau disiplin yang berbeda dipakai untuk memahami Islam, oleh lantaran itu, orang perlu memahami Islam dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Ia pluralistik lantaran ada banyak agama-agama dan tradisi lain disamping Islam.  

Studi Islam mulai dikembangkan oleh Mukti Ali pada final dekade tahun 70-an. Kajian masih bersifat stadium awal, terfokus pada duduk masalah mudah menyangkut penataan, training dan pengembangan relasi antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun 80-an, studi agama memasuki fase gres yang segar dimana mulai muncul kajian-kajian yang secara tematik lebih variatif dan secara kualitattif lebih intensif. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan, teknologi komunikasi dan transportasi, yang secara eksklusif membantu perkembangan internal kajian agama. (Ahmad Norma Permata,( ed) Metodologi Studi Agama (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 27)
Studi Islam (Islamic Studies) yaitu salah satu studi yang menerima perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah menerima tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.     

Islam sebagai agama ajaran-ajaran tidak hanya meliputi duduk masalah yang trasedental akan tetapi meliputi pula banyak sekali duduk masalah seperti  ekonomi, social, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal  telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis cultural. Perkembangan tersebut sanggup diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek social keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama an sich, dan wilayah-wilayah social dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri, menjadi tidak jelas.

Islam menyerupai agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan banyak sekali kepentingan yang melekat dalam pedoman dan batang badan ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya “agama” dengan banyak sekali “kepentingan” social kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi duduk masalah agama.

Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari kurun 7 H hingga dengan kurun ke 15 H cukup umur ini, mengakibatkan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, lantaran sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan  belahan penting dalam sejarah peradaban dunia.

Salah satu duduk masalah mendesak untuk segera dipecahkan yaitu masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif yaitu tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran. Kaprikornus kelemahan umat islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun lebih pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.

Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan   ilmuwan telah merambah ke banyak sekali wilayah. Misalnya, studi Islam sudah masuk kestudi kawasan, filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dsbnya.  

Disamping itu juga, perbedaan bentuk verbal dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana mengenai relasi antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap duduk masalah relasi antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari pedoman yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks ketika ini.

Selain itu, untuk menghidari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak sanggup memperlihatkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang sewenang-wenang dan relatif.

Manfaat mempelajari Metodologi Studi Islam.
  • Dengan mempelajari metodologi studi Islam akan memperlihatkan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap duduk masalah agama, sehingga tidak menganggap bahwa pedoman Islam klasik dianggap sebagai taken for granted. Hal ini didasari atas adanya  kebanggaan paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam cukup umur ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu. Baik lantaran keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak tepat serta warisan budaya masa kemudian yang amat kaya dan menakjubkan, maka seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam cukup umur ini untuk melaksanakan inovasi, yang ada yaitu melaksanakan konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah usang yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa mempunyai dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan mendapatkan realita dunia baru. Bahwa dunia pada kurun kemudian bukanlah dunia yang kita huni hari ini.  
  • Mengimbangi alur pemikiran keagamaan yang seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan setuju bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak sanggup terhindarkan. (Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 13) Lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya personal commintment terhadap pedoman agama yang dipeluknya. Agama yaitu duduk masalah hidup dan mati (ultimate concern). Pemeluk agama tertentu akan akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang dipakai pemeluk agama yaitu bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya (Ibid, 50)
  • Dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik menyerupai Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam sanggup dijadikan sebagai pedoman yang bisa menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.
Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam

Islam sebagai agama tidak tiba ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat ketika itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka standar nilai dan moralitas.

Kemudian Dalam perjalanan panjang Islam, Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akhir adanya banyak sekali macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Dalam istilah Komarudin Hidayat Wahyu  ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan  tidak hanya tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual.

Oleh alasannya yaitu itu, Obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas perihal duduk masalah trasedental namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
  • Komunitas setiap tradisi mempunyai suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang mempunyai bermacam-macam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu konteks global.
  • Ritual yang sanggup dipahami dalam tiga aspek; penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen biasanya berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar menyerupai yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat bermacam-macam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
  • Etika; seluruh tradisi mempunyai harapan mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan  semua menyepakati persoalan-persoalan dasar menyerupai keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa malu keluarga, mengingkari cinta. Tradisi-traisi monoreistik menyerukan biar menyayangi insan dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
  • Keterliban social dan politis; komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaftasi dengannya kecuali bila agama dan masyarakat saling terpisah menyerupai dalam agama-agama primal.
  • Kajian teks dan Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengenyampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi mempunyai kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan). (Di Jerman, hingga hari ini, kajian-kajian terhadap bahasa, budaya dan agama merupakan inti dari studi Islam yang dipelajari, dan di universitas lebih dikenal sebagai Orientalische Seminar. Diantara pemula pakar bahasa Arab dari Jerman yaitu Johan Jokab Reiske (1716-1774). Kajian-kajian bahasa Arab berkembang secara luas di Eropa semenjak permulaan kurun ke-19. Salah satu dari ahli-ahli dalam bidang ini yaitu seorang sarjana Perancis A.I. Sylvestre de Sacy. Lihat Jacques Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji (ed),  Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2003), 3)
  • Konsep atau doktrin
  • Estetika; dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di taj mahal dan parmadani di Persia
  • Spiritualitas yang menekankan sisi dalam (batin) dari agama. (Frank Whaling, Pendekatan Teologis, dalam Peter Connoly (ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 321) Spritualitas Muslim dalam makna luas dengan terperinci mengekpresikan dirinya dalam banyak sekali cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman gaib pribadi, dalam banyak sekali ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadis kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak acuan bagi ‘’isyarat-isyarat” Tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan tugas yang sangat berbeda dalam banyak sekali cara yang berbeda pula. (Lihat Jacques Waardenburg, Studi Islam dan sejarah Agama-Agama, Sebuah Evaluasi, dalam Azim Nanji (ed),  Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2003), 308)
Pengertian Metodologi Studi Islam, Tujuan Mempelajari Serta Manfaat

0 Response to "Pengertian Metodologi Studi Islam, Tujuan Mempelajari Serta Manfaat"

Post a Comment