Pengertian Angkringan dan Sejarahnya.
Sejarah angkringan memang bermula dari upaya menaklukkan kemiskinan perjuangan ini konon dimulai pada tahun 1950-an oleh mbah pairo alasannya tidak ada lahan yang subur di desanya di kecamatan Cawas, Klaten (jateng). Awalnya para pedagang minuman dan kuliner kecil ini tidak memakai gerobak melainkan pikulan mereka dulu disebut pedagang hik (dibaca Hek). Nama hik bermula pada tradisi malam selikuran (malam ke21) di Keraton Surakarta, pada malam tersebut kota berhiaskan lentera (ting-ting) yang antara lain dibawa para pedagang kuliner para pedagang itu biasa berteriak Hiik......iyeeekk.... hingga kini istilah hik masih digunakan di Solo. Namun di Yogya mereka terkenal dengan nama angkringan atau warung kucing (Kompas, 20-06-2004).
Nama angkringan itu sendiri diambil dari bahasa jawa yaitu ngankring yang artinya duduk dengan posisi salah satu kaki lebih tinggi dari kaki yang lainnya. Di dalam budaya jawa itu sendiri, cara duduk menyerupai ini biasanya tidak diperbolehkan alasannya dianggap tidak etis apalagi bila dilakukan pada ketika makan selain nama angkringan, ada juga beberapa orang yang menyebut angkringan dengan nama warung kucing atau kucingan. Kata kucingan konon muncul dikarenakan nasi yang dijual sebagai bab dari salah satu produk yang dijual di sana menyerupai dengan cara kebanyakan orang memperlihatkan makan kepada kucing. Porsi nasinya kira-kira hanya 3 kali suapan dengan pasangan lauk berupa sambel dan ikan teri menyerupai kuliner untuk kucing.
Adapun produk-produk yang dijual di angkringan ini kalau dilihat bekerjsama bukanlah kuliner yang cepat saji alasannya meskipun konsumen sanggup eksklusif mengkonsumsi kuliner atau minuman yang telah tersaji di sana sejak warung ini dibuka, akan tetapi kuliner atau minuman tersebut tetap membutuhkan proses yang memakan waktu sebelum dijual. Sebut saja nasi lengkap dengan sambalnya, aneka gorengan menyerupai tempe, tahu, bakwan, pisang, dan lain-lainnya, banyak sekali cemilan menyerupai kacang, krupuk, marning jagung, serta tak ketinggalan adanya sate hati ayam dan sate usus serta baceman kepala ayam dan tahu. Khusus mengenai minuman, yang menjadi kekhasan tersendiri ialah minuman atau disebut wedang jahe. Selain tentunya minuman yang lain menyerupai es teh, es jeruk , es jahe susu, kopi panas maupun air putih. Hidangan yang disajikan tidak sama kompletnya antara angkringan satu dengan angkringan yang lainnya. Namun yang terang angkringan gampang dikenali alasannya tetap dengan ciri khasnya yaitu gerobak kayu, minum-minuman dengan harga yang relatif murah, dan tiga buah ceret di sebelah kawasan makanan, serta bungkusan nasi kecil dengan harga Rp 600 yang menciptakan kekhasan bagi pedagang angkringan.
Dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya, para pedagang tidak lupa melengkapi beberapa kemudahan untuk memperlihatkan kesan santai dan nyaman bagi para pembelinya yakni berupa tratak atau tenda, bangku (kursi panjang tanpa sandaran), tikar untuk lesehan dan lampu remang-remang. Kondisi demikian inilah yang memperlihatkan kekhas-an bahwa angkringan berbeda dengan warung makan yang biasa dikenal orang. Yakni kekhas-an bahwa di angkringan pembeli dan pengunjung leluasa untuk nongkrong (duduk-duduk) sambil ngobrol membicarakan banyak sekali hal mulai dari persoalan politik (negara), ekonomi, pendidikan, sosial budaya, hingga humor. Di angkringan ini pula sering menjadi salah satu sumber info terbaru dan juga menjadi kawasan berkumpulnya banyak sekali komunitas orang mulai dari pelajar, tukang becak, pekerja kantoran, wartawan dan lain sebagainnya.
Tak ketinggalan pula mahasiswa sebagai kelas menengah keatas yang kerapkali justru menjadi pelanggan tetapnya. Mahasiswa dan angkringan menjadi hal yang sulit untuk dipisahkan. Tidak sulit untuk menemukan mahasiswa sedang makan di angkringan atau terlibat perbincangan yang seru di sana. Batas sosial menjadi tidak berlaku lagi di kawasan ini. Semua berbaur menjadi satu, saling berinteraksi satu sama lain tanpa memandang kelas sosial oleh para konsumennya. Disini mereka salin menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan saling bercanda antar pedagang dan pembeli. Di sini pula mereka beraktivitas membentuk dunianya sendiri, sebuah dunia manusia. Sebuah dunia yang berdasarkan Berger ialah suatu dunia yang mesti dibuat oleh kegiatan insan itu sendiri. Manusia sanggup menempatkan diri serta merealisasikan kehidupannya. Mereka pun harus selalu mencoba memahaminya dirinya sendiri dengan cara megekspresikan diri dalam beraktivitas (Berger:7:1991).
0 Response to "Sejarah Angkringan Dan Pengertian Angkringan"
Post a Comment