Pengertian Perlawanan Definisi Teori Menurut Para Ahli - Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber (Ritzer, 2000) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka (Zubir, 2002). Jika situasi ketidakadilan dan rasa putus asa ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau social movement, yang akan menjadikan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya (Tarrow, 1994).
Scott (2000) mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (minsalnya harga sewa atau pajak) yang dibentuk oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott (2000) membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian, yaitu:
- perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan
- perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript).
Kedua kategori tersebut, oleh Scott (2000), dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karekteristik, wilayah sosial dan budaya. Perlawanan terbuka dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas - kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat. Sementara perlawanan sembunyi- sembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak pribadi antara kelas- kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat.
Untuk melihat pembedaan yang lebih terang dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott (2000) mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat:
- organik, sistematik dan kooperatif,
- berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri,
- berkonsekuensi revolusioner, dan / atau
- mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi.
Dengan demikian, agresi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan (dan lain- lain) merupakan konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superdinat (Tarrow, 1994).
Menurut Fakih (Zubir, 2002), gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melaksanakan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena mempunyai orientasi pada perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja berdasarkan mekanisme baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul ketika itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak mempunyai kepemimpinan formal, seorang penggagas gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan lantaran keberhasilannya menghipnotis massa dengan kepiawaiannya dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta mempunyai planning yang paling efektif dalam mencapainya (Zubir, 2002).
Soekanto dan Broto Susilo (1987) menunjukkan empat ciri gerakan sosial, yaitu:
Menurut Fakih (Zubir, 2002), gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melaksanakan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena mempunyai orientasi pada perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja berdasarkan mekanisme baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul ketika itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak mempunyai kepemimpinan formal, seorang penggagas gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan lantaran keberhasilannya menghipnotis massa dengan kepiawaiannya dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta mempunyai planning yang paling efektif dalam mencapainya (Zubir, 2002).
Soekanto dan Broto Susilo (1987) menunjukkan empat ciri gerakan sosial, yaitu:
- tujuannya bukan untuk mendapat persamaan kekuasaan, akan tetapi mengganti kekuasaan,
- adanya penggantian basis legitimasi,
- perubahan sosial yang terjadi bersifat massif dan pervasive sehingga menghipnotis seluruh masyarakat, dan
- koersi dan kekerasan bia sa dipergunakan untuk menghancurkan rezim usang dan mempertahankan pemerintahan yang baru.
J. Smelser (Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001) menyatakan, bahwa gerakan social ditentukan oleh lima faktor.
- Pertama, daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu perlawanan akan gampang terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melaksanakan suatu gerakan massa secara impulsif dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya).
- Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural (structural strain ) akan mempercepat orang untuk melaksanakan gerakan massa secara impulsif lantaran impian mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan.
- Ketiga, mengembangkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga sanggup menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang sanggup menguntungkan tersebut.
- Keempat, faktor yang sanggup memancing tindakan massa lantaran emosi yang tidak terkendali, menyerupai adanya rumor atau isu- gosip yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk melaksanakan perlawanan.
- Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk melaksanakan tindakantindakan yang telah direncanakan.
Sedangkan perlawanan sembunyi- sembunyi sanggup dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat:
- tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual,
- bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri,
- tidak berkonsekuensi revolusioner, dan/ atau
- lebih akomodatif terhadap sistem dominasi.
Oleh lantaran itu, gejala- tanda-tanda kejahatan seperti: pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi dibelakang membangkang) merupakan perwujudan dari perlawanan sembunyisembunyi (Scott, 2000).
Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah system dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam sistem tersebutsekarang, ahad ini, trend ini (Scott, 1993). Percobaan- percobaan untuk menyedot dengan tekun sanggup memukul balik, mendapat dispensasi marjinal dalam eksploitasi, sanggup menghasilkan negosiasi- perundingan ihwal batas- batas pembagian, sanggup mengubah perkembangan, dan dalam insiden tertentu sanggup menjatuhkan sistem.
Tetapi, berdasarkan Scott (1993), semua itu hanya merupakan akibat- akhir yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan hidup dan ketekunan. Bagaimanapun, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas- kelas lainnya) akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakan- singkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orang- orang yang mengadakan perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komoditi kecil atau pekerja, mungkin sanggup memaksa beberapa orang dari kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya (Scott, 1993).
Scott (2000) menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi- sembunyi) tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana- mana, melawan efek- imbas pembangunan kapitalis asuhan negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas- komunitas kecil dan pada umumnya tanpa sarana- sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif, memakai sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan koordinasi (Scott, 2000).
Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan birokratis. Tetapi merupakan suatu koordinasi dengan aksi- agresi yang dilakukan dalam komunitas dengan jaringanjaringan informasi yang padat dan sub kultur - sub kultur perlawanan yang kaya. Tidak terdapat aksi- agresi huru hara, demonstrasi, pembakaran, kejahatan sosial terorganisisr, dan kekerasan terbuka. Perlawanan ini akan terus berlangsung selama struktur social masih eksploitatif dan tidak adil (Scott, 2000).
Menurut Basrowi dan Sukidin (2003), studi yang membahas ihwal gerakan sanggup dijelaskan dengan memakai tiga pendekatan.
- Pertama, pendekatan moral ekonomi. Pada pendekatan ini, aspek pokok yang memicu gerakan adalah:
- 1) adanya reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi subsistensi,
- 2) faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasal dari kalangan elit desa atau patron.
- Kedua, pendekatan ekonomi politik yang menyatakan bahwa gerakan intinya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam mereka. Keputusan melaksanakan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien.
- Ketiga, pendekatan historis yang memfokuskan pada keberlangsungan kesejahteraan yang terdapat pada suatu masyarakat. Gerakan dipahami sebagai akhir dari terjadinya penyimpangan dan bahaya terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki.
Perlawanan merupakan bentuk dari pernyataan sikap yang dilakukan oleh masyarakat. Penyikapan masyarakat tersebut dalam bentuk perlawanan terhadap kelompok atau pihak yang dianggap me ngancam eksistensi mereka selalu mengalami perubahan (Kusuma dan Agustina, ed., 2003). Hal ini tidak terlepas dari imbas gosip yang diangkat dan mendapat santunan dari masyarakat.
Soekanto (Kusuma dan Fitria, ed., 2003) beropini bahwa selama dasawarsa yang mendahului pemberontakan, kondisi- kondisi sosial dan ekonomi telah menimbulkan tekanan- tekanan dan tuntutantuntutan berbeda dari sebelumnya. Kemudian Soekanto menambahkan, tuntutan tersebut disebabkan oleh masalah- duduk kasus yang sifatnya kumulatif dan tidak terungkap yang merupakan sumber putus asa bagi pemicu timbulnya perlawanan.
Zubir (2002) menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran (seperti buruh, pedagang, petani, dan lain- lain) bersifat sporadis. Dalam memperjuangkan keinginannya, gerakan ini tidak mempunyai seni administrasi usaha yang terang sehingga lebih gampang untuk dipadamkan oleh pihak- pihak yang berkuasa. Apabila gerakan ini telah dimasuki oleh unsur idiologis, maka gerakan ini akan menjadi suatu gerakan yang radikal. Dalam percaturan politik, massa dari kelompok ini menjadi lahan perebutan yang subur dari banyak sekali kelompok yang bertikai. Ia mempunyai tujuan yang terang dan dalam gelombang yang besar, gerakan ini mempunyai kecenderungan melawan arus zaman, arus dari status quo yang berkuasa. Gerakan menyerupai ini biasanya dipelopori oleh mahasiswa sebagai pemain drama intelektual (Zubir, 2002).
Gurr dalam Mas’oed (1998) menyatakan, bahwa adanya empat faktor yang memilih intensititas perlawanan dan potensi untuk melaksanakan tindakan politis sebagai jalan keluar. Pertama, seberapa parah tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif komunal itu dibandingkan dengan kelompok lain. Kedua, kekuatan atau ketegasan identitas kelompok yang merasa terancam. Ketiga, keandalan derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Dan keempat, kontrol represif atau daya paksa tidak adil oleh kelompok- kelompok dominan.
Menurut Alain Touraine menyerupai yang dikuti oleh Adijtonro (1994) dalam paper yang berjudul “large dam victims and their defendersi: the emergence of an anti- large dam movement in Indonesia”, yang kemudian dikutip oleh Sangaji (2000), terdapat tiga karekteristik gerakan sosial, yakni: identifikasi, oposisi, dan totalitas. Identifikasi berkaitan dengan aktor- pemain drama gerakan yang dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu para korban (peremajaan pasar) dan para pembelanya. Oposisi berafiliasi dengan apa (siapa) yang hendak ditentang. Dan prinsip totalitas berafiliasi dengan teori- teori yang mendasari gerakan tersebut.
Berkaitan dengan cara- cara pengungkapan atau ekspresi perlawanan, Sangaji (2000) membagi kedalam dua bentuk, yakni:
Zubir (2002) menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran (seperti buruh, pedagang, petani, dan lain- lain) bersifat sporadis. Dalam memperjuangkan keinginannya, gerakan ini tidak mempunyai seni administrasi usaha yang terang sehingga lebih gampang untuk dipadamkan oleh pihak- pihak yang berkuasa. Apabila gerakan ini telah dimasuki oleh unsur idiologis, maka gerakan ini akan menjadi suatu gerakan yang radikal. Dalam percaturan politik, massa dari kelompok ini menjadi lahan perebutan yang subur dari banyak sekali kelompok yang bertikai. Ia mempunyai tujuan yang terang dan dalam gelombang yang besar, gerakan ini mempunyai kecenderungan melawan arus zaman, arus dari status quo yang berkuasa. Gerakan menyerupai ini biasanya dipelopori oleh mahasiswa sebagai pemain drama intelektual (Zubir, 2002).
Gurr dalam Mas’oed (1998) menyatakan, bahwa adanya empat faktor yang memilih intensititas perlawanan dan potensi untuk melaksanakan tindakan politis sebagai jalan keluar. Pertama, seberapa parah tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif komunal itu dibandingkan dengan kelompok lain. Kedua, kekuatan atau ketegasan identitas kelompok yang merasa terancam. Ketiga, keandalan derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Dan keempat, kontrol represif atau daya paksa tidak adil oleh kelompok- kelompok dominan.
Menurut Alain Touraine menyerupai yang dikuti oleh Adijtonro (1994) dalam paper yang berjudul “large dam victims and their defendersi: the emergence of an anti- large dam movement in Indonesia”, yang kemudian dikutip oleh Sangaji (2000), terdapat tiga karekteristik gerakan sosial, yakni: identifikasi, oposisi, dan totalitas. Identifikasi berkaitan dengan aktor- pemain drama gerakan yang dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu para korban (peremajaan pasar) dan para pembelanya. Oposisi berafiliasi dengan apa (siapa) yang hendak ditentang. Dan prinsip totalitas berafiliasi dengan teori- teori yang mendasari gerakan tersebut.
Berkaitan dengan cara- cara pengungkapan atau ekspresi perlawanan, Sangaji (2000) membagi kedalam dua bentuk, yakni:
- perlawanan yang diungkapkan secara individual,
- perlawanan yang dilakukan melalui tindakan- tindakan kolektif atau bersama.
Kedua bentuk perlawanan tersebut diekspresikan dalam bermacam-macam cara, mulai dari agresi protes terbuka, yang diungkap melalui media massa, surat protes, pengiriman delegasi, atau melalui kesempatan dialog, seminar, sampai cara- cara tertutup, menyerupai agresi tutup ekspresi dan tidak menghadiri pertemuan dengan rival.
Di samping itu, perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran ini juga mendapat santunan dari organisasi atau individu yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar, menyerupai mahasiswa, NGO, tokoh intelektual setempat (Sangaji, 2000). Mereka dibedakan atas dua kategori, yaitu:
Di samping itu, perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran ini juga mendapat santunan dari organisasi atau individu yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar, menyerupai mahasiswa, NGO, tokoh intelektual setempat (Sangaji, 2000). Mereka dibedakan atas dua kategori, yaitu:
- para pendukung spesialis, yakni individu dan organisasi yang secara spesifik membangun keterampilan dan idiologi untuk menentang kebijakan tersebut,
- para pendukung umum, yakni individu atau organisasi yang menganggap pembelaan tersebut merupakan potongan dari usaha menegakkan hak asasi dan keadilan (Sangaji, 2000).
Sangaji (2000) menambahkan, bahwa alasan dilakukannya perlawanan oleh pelaku perlawanan dibagi atas dua. Pertama, alasan yang berdimensi sosio- kultural, berkaitan dengan tanah leluhur, biasanya alasan ini diungkapkan oleh penduduk asli. Kedua, alasan- alasan yang bersifat sosial- ekonomi, biasanya diungkapkan oleh penduduk pendatang yang telah usang bermukim di daerah tersebut. Menurut A.S. Hikam (Prisma, 1990), terjadinya perlawanan terhadap kekuasaan sanggup dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama, fenomena perlawanan dari sudut pandang otoritas moral sebagai basis hubungan- kekerabatan sosial dan stabilitas sosial.
Pandangan ini berargumen, bahwa terjadinya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan suatu bentuk keberangan moral. Dan hal ini, berdasarkan Moore (Prisma, 1990), dipengaruhi oleh tiga elemen penting dalam sistem sosial:
Pandangan ini berargumen, bahwa terjadinya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan suatu bentuk keberangan moral. Dan hal ini, berdasarkan Moore (Prisma, 1990), dipengaruhi oleh tiga elemen penting dalam sistem sosial:
- Koordinasi sosial atau kekuasaan,
- Pembagian kerja, dan
- Distribusi barang.
Koordinasi sosial dan kekuasaan akan selalu dievaluasi oleh masyarakat (dalam pengertian) ihwal kemampuannya menunjukkan proteksi dan memelihara kedamaian serta ketertiban, sebaliknya masyarakat bertanggung jawab untuk tunduk dan mentaati kekuasaan yang berlaku. Apabila kewajiban timbal balik ini, berdasarkan Hikam (Prisma, 1990), tidak sanggup terpenuhi dengan baik akan mengakibatkan terjadinya keberangan moral dan kerusakan sosial.
Sementara itu, ihwal pembagian kerja, Hikam (Prisma, 1990) menandakan bahwa kegagalan dalam membuat keadilan dalam pembagian kerja akan menjadikan kesenjangan sosial, dan selanjutnya akan menjadikan keberangan moral dalam bentuk protes secara terbuka maupun sembunyi. Sedangkan distribusi barang, kalau dilihat dari kacamata moral, akan memainkan peranan penting untuk mengurangi pertentangan kesenjangan moral, demikian Hikam (Prisma, 1990) menjelaskan.
Kedua, perlawanan terjadi lantaran adanya keharusan struktural yang memilih tindakan dan perilaku- sikap individu. Menurut Hikam (Prisma, 1990), pandangan ini beropini bahwa perlawanan terhadap kekuasaan terjadi lantaran adanya santunan kolektif, bukan muncul dari kehendak individu. Konflik yang timbul dari fenomena kekuasaan yang mendominasi masyarakat, ternyata telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang di dominasi. Konflik yang tidak bisa terselesaikan dengan baik akan menimbulkan kerusakan sosial di masyarakat (Prisma, 1990). Oleh lantaran itu, konflik perlu diselesaikan dengan baik, yang dikenal dengan resolusi konflik (conflict resolution).
Sementara itu, ihwal pembagian kerja, Hikam (Prisma, 1990) menandakan bahwa kegagalan dalam membuat keadilan dalam pembagian kerja akan menjadikan kesenjangan sosial, dan selanjutnya akan menjadikan keberangan moral dalam bentuk protes secara terbuka maupun sembunyi. Sedangkan distribusi barang, kalau dilihat dari kacamata moral, akan memainkan peranan penting untuk mengurangi pertentangan kesenjangan moral, demikian Hikam (Prisma, 1990) menjelaskan.
Kedua, perlawanan terjadi lantaran adanya keharusan struktural yang memilih tindakan dan perilaku- sikap individu. Menurut Hikam (Prisma, 1990), pandangan ini beropini bahwa perlawanan terhadap kekuasaan terjadi lantaran adanya santunan kolektif, bukan muncul dari kehendak individu. Konflik yang timbul dari fenomena kekuasaan yang mendominasi masyarakat, ternyata telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang di dominasi. Konflik yang tidak bisa terselesaikan dengan baik akan menimbulkan kerusakan sosial di masyarakat (Prisma, 1990). Oleh lantaran itu, konflik perlu diselesaikan dengan baik, yang dikenal dengan resolusi konflik (conflict resolution).
Daftar Pustaka Pengertian Perlawanan Definisi Artikel Teori Perlawanan Menurut Para Ahli
Hikam, M.A.S., 1990, Perlawanan Sosial: Telaah Teoritis dan Beberapa Studi Kasus,Prisma, LP3ES, Jakarta.
Ritzer, George, 2000, Sociological Theory, Fifth edition, University Of Maryland.
Zubir, Zaiyardam, 2002, Radikalime Kaum Pinggiran: Studi ihwal Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan , Insist Press, Yogyakarta.
Tarrow, Sidney, 1994, Power in Movement, Social Movement, Collective Action and Politics, Cornell University.
Scott, James. C, 1981, Moral ekonomi Petani, Pergola kan dan Subsistensi di AsiaTenggara , LP3ES, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1984, Beberapa Teori Sosiologi ihwal Struktur Masyarakat, C.V.Rajawali, Jakarta.
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim, ed., 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas, Grasindo Jakarta
Kusuma, Nur dan Fitria Agustina, ed., 2003, Gelombang Perlawanan Rakyat, KasuskasusGerakan Sosial di Indonesia , Insist Press, Yogyakarta.
Mas’oed, Mochtar, 1998, Tantangan terhadap Integrasi Bangsa, Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massa , Makalah, UGM, Yogyakarta.
Sangaji, Arianto, 2000, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ritzer, George, 2000, Sociological Theory, Fifth edition, University Of Maryland.
Zubir, Zaiyardam, 2002, Radikalime Kaum Pinggiran: Studi ihwal Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan , Insist Press, Yogyakarta.
Tarrow, Sidney, 1994, Power in Movement, Social Movement, Collective Action and Politics, Cornell University.
Scott, James. C, 1981, Moral ekonomi Petani, Pergola kan dan Subsistensi di AsiaTenggara , LP3ES, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1984, Beberapa Teori Sosiologi ihwal Struktur Masyarakat, C.V.Rajawali, Jakarta.
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim, ed., 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas, Grasindo Jakarta
Kusuma, Nur dan Fitria Agustina, ed., 2003, Gelombang Perlawanan Rakyat, KasuskasusGerakan Sosial di Indonesia , Insist Press, Yogyakarta.
Mas’oed, Mochtar, 1998, Tantangan terhadap Integrasi Bangsa, Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massa , Makalah, UGM, Yogyakarta.
Sangaji, Arianto, 2000, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Basrowi dan Sukidin, ed., 2003, Teori- teori perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan Cendikia, Surabaya. Biro Pusat Statistik Kota Pekanbaru, 2002, Kecamatan Senapelan dalam Angka, BPS,Pekanbaru.
0 Response to "Pengertian Perlawanan Definisi Artikel Teori Perlawanan Publik Dan Tersembunyi Berdasarkan Para Ahli"
Post a Comment