Pengertian Kekuasaan Definisi Pola Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli Berdasarkan Para Ahli

Pengertian Kekuasaan Definisi Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli - Mosca dalam karyanya The Rulling Class yang dikutip oleh Sastroatmodjo dalam Perilaku Politik (1995) menyatakan: “Dalam setiap masyarakat, …terdapat dua kelas penduduk. Satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati laba yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama”.

   
Pandangan ini menekankan, bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol, yaitu kelas yang memerintah dan yang diperintah. Kelas pertama yang menguasai fungsi politik, yakni monopoli kekuasaan sekaligus menguasai hasilhasilnya. Kelas kedua sebaliknya, mereka yang jumlahnya besar tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau fungsi politik, mereka diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama dengan cara- cara tertentu (Sastroatmodjo, 1995).
   
Mengenai konflik sosial, para hebat ilmu sosial mempunyai pandangan dan aksentuasi yang berbeda. Setiap konflik yang terjadi antara kelas atau kelompok yang ada di masyarakat mempunyai lantaran dan akhir yang beragam. Ada yang dikarenakan oleh status, kekuasaan, kekayaan, usia, tugas berdasarkan ge nder, dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Hal ini sanggup berakibat pada hancurnya suatu tatanan atau struktur sosial, terjadinya kekerasan, penindasan, dan bahkan peperangan.
   
Marx mendefinisikan kelas sebagai kelompok individu atau kelompok ke satuan sosial yang intinya bukan ditentukan semata - mata oleh tempatnya dalam proses produksi. Tetapi dari kedudukan ekonomi sanggup juga ditentukan kelas sosialnya. Marx menyatakan bahwa penyebab penguasaan kelas tertentu terhadap kelas lainnya dikarenakan oleh korelasi produksi yang tidak seimbang (surplus value) dalam suatu korelasi produksi yang kapitalistik. Ekonomi politik merupakan aksentuasi khusus yang dibicarakan Marx dalam kontradiksi ini. Marx menganggap perbincangan mengenai modal dan kerja, dan antara modal dan tanah perlu dijelaskan secara rinci, yang belum pernah disinggung dalam setiap perbincangan mengenai ekonomi dan politik (Giddens dan Held, ed., 1987).
   
Marx menjelaskan, bahwa semakin miskin keadaan pekerja atau tenaga kerja, semakin banyak kekayaan yang diproduksikannya. Semakin banyak kekayaan yang diproduksikan, semakin besar pula kekuasaan yang terbentuk dan semakin luas pula imbas kekuasaan tersebut. Pekerja menjadi komoditi murah. Semakin murah harga komoditi itu semakin banyak barang yang dihasilkannya. Devaluasi dunia insan semakin membesar, hal mana berafiliasi langsung dengan peningkatan nilai benda. Kerja tidak hanya membuat benda- benda, tetapi juga membuat kerja itu sendiri dan pekerja sebagai komoditi dalam proposisi yang sama dengan produksi barangbarang (Giddens dan Held, ed., 1987).
   
Lain halnya dengan Marx, para pengikut Marx (dikenal dengan kaum Marxis), menyatakan bahwa faktor ekonomi terang mempunyai peranan yang memilih terhadap cara produksi atau terhadap susunan sosial. Tetapi faktor yang bersifat politis dan idiologis (super struktur) juga mempunyai peranan yang penting. Kelas social ditentukan oleh tempatnya dalam kesatuan praktek- praktek sosial dalam arti berdasarkan tempatnya dalam kesatuan pembagian kerja yang meliputi hubungan- korelasi politik dan idiologi. Tempat ini berafiliasi dengan determinasi kultural dari kelas, yakni cara yang ditentukan oleh struktur (hubungan produksi, dominasi, politikidiologi) yang kuat terhadap praktek- praktek kelas (Giddens dan Held, ed., 1987).
   
Dalam The Communist Manifesto , Marx (Johnson, 1981) menyatakan: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ialah sejarah usaha kelas. Orang bebas dan budak, aristokrat dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin perusahaan dan orang luntang- lantang, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, yang berlangsung tak putus - putusnya dalam suatu pertarungan yang kadang- kadang tersembunyi, kadang- kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas- kelas yang bercekcok tersebut”.
   
Pemilikan atau kontrol terhadap alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas- kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan berdasarkan kelas yang paling awal hingga ke kapitalisme modern. Walaupun demikian, karakteristik dari kelas yang berbeda- beda dan sifat korelasi sosial diantara kelaskelas tersebut akan berbeda dalam masyarakat yang berbeda dan tahap yang berbeda pula.
   
Kelas penguasa ialah kelas yang mengeksploitasi dalam sistem korelasi produksi yang diajukan (terutama jikalau ada hubungan- korelasi produksi lain dalam masyarakat itu) melalui totalitas kadar dan bentuk intervensi negara dalam jangka waktu tertentu. Kelas penguasa tidak harus merupakan kelas mayoritas secara ekonomi dalam arti kelas yang mengeksploitasi berdasarkan cara produksi yang dominan, di mana terdapat banyak sekali cara produksi, seperti: pertanian, subsistensi, feodalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya (Giddens dan Held, ed., 1987).
   
Mengenai kelas atau kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Mosca (1939) menjelaskan, ibarat yang dikutip dalam Soekanto (1984). Kelas pertama (berkuasa) biasanya terdiri dari orang- orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua fungsi-fungsi politik, memonopoli kekuasaan dengan menikmati segala laba dari kedudukan sebagai pemegang kekuasaan. Kelas yang kedua (dikuasai), terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama, dengan cara- cara kurang lebih legal, sewenang- wenang atau dengan kekerasan. Kelas kedua tersebut menyediakan sarana untuk sanggup hidup dan bertahan, serta hal- hal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik.
   
Sementara Weber (Johnson, 1986), mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang mendasar untuk kelas, selain prestise dan kekuasan politik. Kelas sosial terdiri dari semua mereka yang mempunyai kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Weber menyatakan bahwa, jikalau ingin berbicara ihwal suatu kelas, mustahil terlepas dari pembicaraan tentang: 1) sejumlah orang yang sama – sama memilliki suatu komponen tertentu yang merupakan sumber dalam kesempatan hidup mereka, 2) komponen ini secara langsung tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa pemilikan benda - benda dan kesempatan- kesempatan untuk memperoleh pendapatan, 3) hal itu terlihat dalam kondisi- kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja.
   
Tidak ibarat ke las ekonomi, kelompok (kelas) status berlandaskan pada ikatan subyektif antara para anggotanya, yang terikat menjadi satu lantaran gaya hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh perkawinan di dalam kelompok itu sendiri, serta ole h perasaan- perasaan akan jarak sosial dari kelompokkelompok status lainnya. Mereka saling mengenal dan menyebut masing- masing sebagai “orang kita” dan berjuang mempertahankan perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam bulat (Johnson, 1986).
   
Selain posisi hemat dan kehormatan kelompok status, dasar yang lain untuk stratifikasi sosial ialah kekuasaan politik. Bagi Weber kekuasaan ialah kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang meskipun menerima tantangan dari orang lain. Kekuasaan ialah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan- tujuan seseorang, khususnya dalam mempengaruhi perilaku. Kekuasaan tersebut dipakai terus- menerus untuk menanamkan suatu iktikad akan haknya untuk berbuat demikian, berusaha untuk menegakkan legitimasi kekuasaan sebagai kerikil loncatan bagi peningkatan posisi ekonomi atau status (Johnson, 1986).
   
Menurut kaum Marxis, kelas penguasa ketika berkuasa tidak mutlak membuat semua keputusan bagi masyarakat sebagai suatu unit yang kompak. Kekuasaan kelas penguasa dilaksanakan melalui seperangkat prosedur yang secara obyektif saling berkaitan tetapi tidak harus menyatu secara pribadi. Melalui cara ini, teknik eksploitasi yang ada direproduksi. Kelas penguasa bukanlah suatu subyek kekuasaan yang bersatu. Kekuasaan diwujudkan dalam suatu proses sosial yang obyektif, yang memelihara dan memperluas cara produksi tertentu serta dijamin oleh pemerintah atau negara (Giddens dan Held, ed., 1987).
   
Negara, berdasarkan Offe dan Range, tidak memajukan kepentingan tertentu dan tidak beraliansi dengan kelas tertentu. Sebaliknya, yang dilindungi dan dimajukan oleh negara ialah seperangkat peraturan dan korelasi sosial yang dianggap tercakup dalam kekuasaan kelas kapitalis. Negara tidak membela kepentingan satu kelas tertentu, tetapi kepentingan bersama semua anggota masyarakat kelas kapitalis, yang disebut sebagai alat kekuasaan (Suhelmi, 2001; Johnson, 1986; Giddens dan Held, ed., 1987).

Marx membagi fungi negara atas tiga potongan (Patria dan Arief, 2003). Pertama, negara ialah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya secara politik meredam usaha- usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, berfungsi untuk memperlihatkan legitimasi pada korelasi kekuasaan itu (Magnis - Suseno, 1992). Kedua, negara merupakan lisan politik dari suatu struktur kelas yang menempel dalam produksi. Artinya, sebagai masyarakat yang terdiri dari kelas, negara ialah lisan politik dari kelas mayoritas itu, yang dikenal dengan istilah borjuis. Ketiga, negara dalam masyarakat borjuis merupakan senjata represif dari kaum borjuis, negara ialah aparatus kekerasan dari kelas mayoritas untuk menjaga kontradiksi kelas. Lain halnya Gramsci (Patria dan Arief, 2003), ia menyatakan bahwa kelas social akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu: melalui cara dominasi1 (dominio ) atau paksaan (coercion) dan melalui kepemimpinan intelektual dan moral, yang disebut dengan hegemoni2.

Hegemoni merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah forum dan manifestasi perseorangan, imbas dari jiwa ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip- prinsip politik, dan semua kekerabatan sosial, terutama dari intelektual dan hal- hal yang memperlihatkan pada moral. Upaya untuk menggiring individu semoga menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang telah ditentukan, sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui prosedur konsensus dengan prosedur institusi yang ada di masyarakat. Perlu untuk diingat, bahwa Gramsci (Patria dan Arief, 2003) beranggapan hegemoni bukan hanya kepemimpinan intelektual dan moral saja tanpa diikuti praktek dominasi atau paksaan. Akan tetapi sanggup terjadi sebagai kepemimpinan intelektual dan moral sekaligus diiringi dengan praktek dominasi atau paksaan.
1. Dominasi diartikan sebagai penguasaan, penempatan posisi anggun dan kuat; imbas besar (Pius A. Partant o dan M. Dahlan Al- barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya).
2. Berasal dari bahasa Yunani kuno disebut eugemonia, diterapkan untuk memperlihatkan dominasi posisi negara- negara kota secara individual, minsalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena terhadap negara kota lainnya (Franz Magnis- Suseno, 2003, dalam bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta).

Dalam upaya memisahkan negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society), Gramsci (Patria dan arief, 2003) memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni. Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi korelasi antar gugusan sosial yang membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan tersebut adalah: ekonomi, negara (political society), dan masyarakat sipil (civil society).

Ekonomi sebagai konseptualisasi yang pertama, merupakan sebuah batasan yang dipakai untuk mengartikan mode of production yang paling mayoritas dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan korelasi social produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas- kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi. Kedua, batasan negara, merupakan batas yang berarti daerah munculnya praktek- praktek kekerasan (polisi dan abdnegara lainnya) dan daerah terjadinya pendirian birokrasi negara 3.

Batasan ketiga, yaitu masyarakat sipil, batasan yang merujuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah gugusan sosial di luar potongan sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan di atas. Bagi Gramsci (Patria dan Arief, 2003) ketiganya harus mempunyai demarkasi yang jelas. Meskipun demikian, ditingkat analisis dan empiris sering terjadi beberapa potongan organisasi dan institusi mungkin berada dalam sebuah batas, dua batas, bahkan tiga batas.
3. Gramsci mengidentifikasikan birokrasi sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan, dan institusi pendidikan (Patria dan arief, Antonio Gramsci, 2003, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

Dalam pemahaman sempit, negara identik dengan pemerintahan, abdnegara kediktatoran kelas dengan pemaksaan dan fungsi- fungsi ekonomi. Kelas dominasi melaksanakan abdnegara negara, dalam pemahaman klasik, ibarat pasukan, polisi, adminstrasi, dan birokrasi. Tetapi pemaksaan fungsi ini tidak sanggup dipisahkan dari peraturan pembiasaan dan edukasi negara, salah satunya berupaya untuk mencapai kelayakan yang memadai antara abdnegara produksi dan moralitas umum dari massa rakyat (Patria dan Arief, 2003).

Berkaitan dengan kekuasaan, Lord Acton (I. Marsana Windhu, 1992) melihat kekuasaan cenderung anyir dan menjadi kekuasaan mutlak. Sedangkan Galtung (Windhu, 1992) menyatakan bahwa kekuasaan dibangun dalam kekerabatan yang tidak seimbang, di mana perbedaan antara otoritas atau wewenang dengan kekuasaan penting: kekuasaan cenderung menaruh iktikad pada kekuatan, sedangkan otoritas ialah kekuasaan yang dilegitimasikan, dan sering diartikan sebagai dominasi.

Mengenai kekuasaan, Tawney (Soekanto, 1984), beropini bahwa: “power may defined as the capacity of an individual, or group of individuals, to modify the conduct of other individuals or groups in the manner in which he desires, and to prevent his conduct being modified in the manner in which he does not”. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok individu untuk membatasi impian kelompok lain, dan mencegah keinginannya dikuasai oleh kelompok lain tersebut.
Judul artikel ini Pengertian Kekuasaan Definisi Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli Menurut Para Ahli
Kekuasaan selalu ambigu, mempesona sekaligus menyeramkan (Windhu, 1992). Mempesona kerena berhadapan dengan seorang penguasa (raja, presiden, perdana menteri) yang berkharisma besar, berpenampilan memikat, dan dengan kharismanya itu, ia sanggup mengatur dan mengendalikan chaos. Di lain pihak, menyeramkan lantaran kekuasaan cenderung busuk, disalahgunakan untuk menindas rakyat, merampas kebebasan dan kehidupan mereka. Kekuasaan ini sudah mutlak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tidak lagi menjadi sarana untuk mencapai tujuan- tujuan bersama.

Dalam kehidupan sehari- hari, bentuk- bentuk kekuasaan tampak dalam pengaruh, kharisma, kepemimpinan atau wewenang, kekuasan merupakan potongan setiap orang, entah sebagai orang tua, guru, buruh, warga negara, tetangga, rakyat, ataupun Presiden. Kekuasaan selalu ada di mana - mana, kekuasaan hadir disaat insan melaksanakan interaksi sosial dengan sesama (Windhu, 1992).

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1986), mengartikan kuasa sebagai kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu; kewenangan atas sesuatu atau untuk memilih sesuatu; kemudian kekuasaan berarti kuasa untuk mengurus atau memerintah; kemampuan; kesanggupan dan kekuatan.

Dalam bahasa Inggris, istilah power bersinonim dengan force, energy, strength , yang artinya secara umum ialah kemampuan untuk mengerahkan segala usaha guna mencapai tujuan. Power merupakan istilah yang paling umum dan sering diterjemahkan sebagai kekuasaan atau kekuatan. Dan dalam konteks pembicaraan ini, power diterjemahkan sebagai kekuasaan lantaran keterkaitannya dengan dunia sosial dan politis.

Menurut David (1981), ibarat yang dikutip oleh Windhu (1992), Definisi kekuasaan ialah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa, dan mengendalikan mereka hingga mereka patuh, mencampuri kebebasan dan memaksakan tindakan dengan cara- cara khusus. Sementara Dahrendorf (Wallace dan Wolf, 1986), mendefinisikan kekuasaan sebagai: “the probability that one actor with in a social relationship will be in a position to carry out his own will despite resistance, regard less of the basis on which this probability rests”. Kekuasaan yang didapat oleh seseorang atau kelompok yang seharusnya dipakai untuk mencapai tujuan bersama, tetapi kenyataannya kekuasaan tersebut malah dipakai untuk memuaskan tujuan sendiri.

Menurut Galtung, Pengertian kekuasaan merupakan konsep yang paling dasar yang mendasari relasi- kekerabatan sosial. Kekuasaan terjadi dalam pola - pola kekerabatan antar insan atau negara. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang, yang eksploitatif dan represif (Windhu, 1992). Konsep yang dipersoalkan oleh Galtung bukanlah segala macam kekuasaan, bukan pula kekuasaan politik dengan otoritasnya, tetapi kekuasaan yang dibangun dalam suatu kekerabatan yang tidak seimbang.

Galtung (Windhu 1992), membagi tiga sumber kekuasaan
  • Pertama, kekuasaan yang diperoleh lantaran pembawaan semenjak lahir, se perti seorang raja yang kharismatik. 
  • Kedua, kekuasaan yang diperoleh lantaran mempunyai sumber - sumber kemakmuran, ibarat kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. 
  • Dan ketiga, kekuasaan yang diperoleh lantaran kedudukannya dalam suatu struktur, ibarat halnya seorang presiden.

Senada dengan Galtung, Soekanto (1984) mengemukakan beberapa hal yang sanggup dijadikan sarana untuk menguasai orang atau kelompok lain, yakni
  1. Pengendalian terhadap sarana - sarana finansial.
  2. Pengendalian terhadap sarana - sarana pemaksaan.
  3. Hak istimewa untuk menerima pengetahuan dan ilmu.
  4. Monopoli penguasaan saluran ke lingkungan kekuasaan tertinggi.
  5. Kemampuan di bidang niaga.
  6. Penguasaan terhadap sarana- sarana produksi dan distribusi.

The British Council (2001) mengemukakan beberapa sumber kekuasaan, yakni:
  1. Otoritas atau posisi, sanggup dimiliki oleh individu atau kelompok berdasarkan perannya, ibarat suami.
  2. Akses ke sumber daya, kekuasaan yang muncul lantaran adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya (seperti materi baku).
  3. Jaringan kerja, koneksi sosial, berbagi kontak pribadi.
  4. Kemampuan atau keahlian.
  5. Informasi, manipulasi informasi.
  6. Kepribadian, merupakan sumber kekuasaan yang dipengaruhi oleh kombinasi beberapa sifat (intelegensi, iktikad diri, sikap, dan lain- lain).

Sedangkan ciri lain dari kekuasaan ialah menghindari akuntabilitas atau keterbukaan dalam memperlihatkan informasi. The British Council (2001) mengutarakan beberapa cara yang sering dipakai untuk menghindari akuntabilitas
  1. Menahan informasi.
  2. Melakukan bahaya tersembunyi.
  3. Menolak untuk mengakui atau mempunyai kekuasaan yang mereka miliki.
  4. Sedikit berkomunikasi atau tidak sama sekali.

Kemudian Galtung (Windhu, 1992), membagi empat aspek yang sering dipakai kekuasaan untuk melaksanakan dominasi. Pertama, eksploitasi penguasaan atau penarikan laba secara tidak wajar. Terjadi jikalau totalitas jumlah biaya dan laba aktivitas dari banyak sekali kelompok berbeda sehingga beberapa kelompok memperoleh laba lebih banyak dari yang lainnya. Eksploitasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi bisa terjadi di bidang politik, militer, dan lain - lain.

Sementara Lorwin (Scott, 1981), mendefinisikan eksploitasi sebagai adanya sementara individu, kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau tidak masuk akal menarik laba dari kerja, atau atas kerugian orang lain. Eksploitasi mempunyai dua ciri utama. Pertama, eksploitasi itu harus dilihat sebagai satu tata- korelasi antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, eksploitasi merupakan distribusi tidak masuk akal dari usaha dan hasilnya, dan hal ini selanjutnya memerlukan adanya suatu ukuran ihwal keadilan distribusi untuk mengukur tata - korelasi yang ada.

Wright (Widyaningrum, dkk, 2003) me nyebutkan, bahwa ciri dari korelasi yang eksploitatif ialah sebagai berikut
  1. Kesejahteraan sebuah kelompok masyarakat secara material tergantung pada perampasan material dari kelompok lain.
  2. Hubungan tersebut melibatkan pula pengucilan atau penutupan (exclusion) terusan terhadap sumber daya produktif tertentu secara asimetris terhadap kelompok yang tereksploitasi.
  3. Mekanisme yang menghasilkan pengucilan atau penutupan terusan terhadap sumber daya produktif tersebut melibatkan pengambilalihan nilai tambah (fruits of labour) kelompok yang tereksploitasi oleh kelompok yang menguasai sumber daya produksi tersebut.

Kedua, penetrasi, dipahami sebagai masuknya imbas dari suatu kekuatan yang mayoritas terhadap kekuatan yang minor. Dalam konteks suatu negara, masuknya imbas negara kuat ke dalam negara- negara yang dikuasai. Ketiga, fragmentasi, merupakan suatu cara yang dipakai oleh satu kelompok untuk menguasai kelompok lainnya, satu pemerintah sanggup menguasai beberapa negara lainnya dengan cara memecah belah.

Keempat, marginalisasi. Untuk membedakannya dengan fragmentasi, Galtung mencontohkan sebagai cara yang ditempuh dengan membentuk perkumpulan di dalam dan di luar. Di satu pihak, keputusan- keputusan penting mengenai seluruh dunia akan diambil oleh perkumpula n di dalam (masyarakat Eropa), dan di lain pihak terdapat sekelompok kecil negara- negara Eropa yang menngikuti kebijakan non- imperialis, namun mereka tergabung dalam struktur yang sifatnya eksploitatif terhadap perkumpulan di luar, yaitu negara - negara yang dikuasai.

Sedangkan sumber- sumber kekuatan yang sering dipakai oleh kelas penguasa, Widyaningrum, dkk (2003) mengemukakan sebagai berikut:
  1. Kekuatan dari kebijakan negara, adanya kebijakan- kebijakan yang memperlihatkan privilege pada sekelompok pemeran untuk melaksanakan monopoli.
  2. Kekuatan premanisme, kekuatan politik, terjadinya penyelewengan fungsifungsi institusi yang seharusnya menjaga aturan main dan keamanan dalam masyarakat.
  3. Kekuatan isu dan modal, penguasaan dan penutupan terusan terhadap isu dan modal menjadi salah satu sumber kekuatan pelaku- pelaku eksploitasi.
  4. Kekuatan atas sumber daya sosial dan ekonomi.
Pengertian Kekuasaan Definisi Teori Dominasi Kekuasaan Pengertian Kekuasaan Definisi Contoh Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli Menurut Para Ahli

Daftar Pustaka Pengertian Kekuasaan Definisi Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli Menurut Para Ahli
Giddens, Antonio dan David Held, ed., 1987, Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik , Rajawali Pers, Jakarta.
Patria, Nezar dan Andi Arief, 2003, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, PustakaPelajar, Yogyakarta.
Suhelmi, Ahmad, 2001, Pemikiran Politik Barat, Gramedia, Jakarta.
Windhu, I. Marsana, 1992, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung,Kanisius, Yogyakarta.
Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia , diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta.
Wallace, Ruth. A dan Alison Wolf, 1986, Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition, Second edition, Englewood Cliffs, New Jersey.
Magnis- Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta.
The British Coouncil, 2001, Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Zed Book, London.
Scott, James. C, 1981, Moral ekonomi Petani, Pergola kan dan Subsistensi di AsiaTenggara , LP3ES, Jakarta.
Widyaningrum, Nurul, 2003, Pola - pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil, AKATIGA,Bandung.
Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , jilid 2, P.T. Gramedia,
Soekanto, Soerjono, 1984, Beberapa Teori Sosiologi ihwal Struktur Masyarakat, C.V.Rajawali, Jakarta.

0 Response to "Pengertian Kekuasaan Definisi Pola Teori Dominasi Kekuasaan, Monopoli Berdasarkan Para Ahli"

Post a Comment