Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik

Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik - Konflik merupakan faktor yang turut membangun perkembangan masyarakat. Konflik akan bisa membangun solidaritas kelompok dan relasi antar warga negara maupun antar kelompok. Konflik tidak bisa dihindari oleh setiap aktor, namun yang paling penting ialah cara untuk menuntaskan konflik biar ancaman (threat) bisa menjadi kesempatan (oppurtunity ) dan ancaman timbulnya konflik terbuka secara meluas dilokalisasi dengan membangun suatu model pencegahan dan penanggulangan dini (Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001).

Suatu kebiasaan khas dalam konflik ialah menawarkan prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya sendiri ( Hugh Miall dkk, 1999). Jika kepentingan si A bertentangan dengan kepentingan B, A cenderung mengabaikan kepentingan B, atau secara aktif menghancurkannya. Menurut Miall (1999), pihak – pihak yang berkonflik biasanya cenderung melihat kepentingan mereka sebagai kepentingan yang bertentangan secara diametrikal, oleh alasannya ialah itu, Miall (1999), berkesimpulan bahwa hasil yang diperoleh ialah hasil kalah- menang.
   
Untuk itu, berdasarkan Dahrendorf (1984), perlu diadakan suatu peraturan kontradiksi yang mensyaratkan tiga faktor. Pertama, kedua kelompok yang terlibat dalam kontradiksi harus mengakui pentingnya dan nyatanya situasi kontradiksi dan dalam hal ini, mengakui keadilan mendasar dari maksud pihak lawan. Pengakuan adilnya maksud lawan tentu saja bukan berarti bahwa subtansi kepentingan lawan harus diakui sebagai adil dari awal. Pengakuan di sini berarti bahwa kedua kelompok yang bertentangan mendapatkan untuk apa kontradiksi itu, yakni menerimanya sebagai suatu hasil pertumbuhan yang tak terelakkan.
   
Syarat kedua, ialah organisasi kelompok- kelompok ke pentingan. Selama kekuatan- kekuatan yang bertentangan itu terpencar- pencar dalam kesatuan yang kecil yang masing- masing erat ikatannya, peraturan kontradiksi tidak akan efektif. Dan ketiga, adanya keharusan bagi kelompok- kelompok yang berlawanan dalam kontradiksi sosial menyetujui aturan formal tertentu yang menyediakan kerangka relasi bagi mereka.
   
Berdasarkan buku panduan pengelolaan konflik yang dikeluarkan oleh The British Council (2001), bahwa penyelesaian suatu konflik yang terjadi sanggup dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
  1. Negosiasi, suatu proses untuk memungkinkan pihak- pihak yang berkonflik untuk mendiskusikan banyak sekali kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka.
  2. Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihakpihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.
  3. Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian.

Secara tradisional, kiprah penyelesaian konflik ialah membantu pihak- pihak yang mencicipi situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero – sum (keuntungan diri sendiri ialah kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non- zero- sum (di mana kedua belah pihak sanggup memperoleh hasil atau keduanya sama- sama tidak memperoleh hasil) dan kemudian membantu pihak- pihak yang berkonflik berpindah ke arah hasil yang positif (Miall dkk, 1999). Untuk membuat hasil non- zero- sum, Miall (1999) mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi menuntaskan konflik.

Menurut Nurhasim (Prisma, 1997), contoh penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan administrasi konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan negara (pemerintah) sebagai penengah munculnya konflik yang terjadi dalam masyarakat. Negara memainkan kiprah dalam mengelola konflik yang terjadi di masyarakat sehingga sanggup ditransformasikan menjadi konsensus.

Sementara teori strukturalis semi otonom mempe rsepsikan negara sebagai forum politik yang lebih otonom. Negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara banyak sekali kelompok kepentingan sehingga pembangunan (kebijakan) dipandang sebagai upaya untuk menengahi konflik yang terjadi (Nurhasim, Prisma, 1997).

Negara dalam kedua terminologi tersebut dipersonifikasikan baik secara individual maupun lembaga. Nordlinger, menyerupai yang dikutip oleh Nurhasim (Prisma, 1997) melihat negara secara subyektif atau dalam perangkat analisis individual, yaitu individu yang menduduki posisi yang mempunyai kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini ialah presiden, menteri, dan para kepala daerah.. Sementara Kresner dan Scotpol (Prisma, 1997) melihat negara dalam arti forum dan individu, menyerupai Mahkamah Agung (MA), militer, kehakiman, dan lain- lain.

Sementara Miall (1999) membedakan pihak ketiga atas dua, yaitu: arbitrasi dan mediasi. Arbitrasi merupakan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang mempunyai sumber kekuasaan, bisa melaksanakan tekanan, intervensi terhadap pihak- pihak yang berkonflik biar sanggup selesai (Miall, 1999). Sedangkan mediasi ialah penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menindas pihak- pihak yang berkonflik biar konflik selesai (Miall, 1999). Menurut Dahrendorf (1986) kelompok ketiga ini dikenal dengan istilah penengah atau mediasi, dan arbitrasi atau penghakiman. Dahrendorf (1986) membagi beberapa tipe kiprah kelompok ketiga tersebut sebagai berikut:
POLA- POLA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Tipe
Mengundang Nasihat Kelompok Ketiga
Menerima Nasihat Kelompok Ketiga
Istilah
Kerr
1. A
Tidak
Tidak
Konsiliasi
2. B
Fakultatif
Fakultatif
Mediasi
3.C
Fakultatif
Wajib
Arbitrasi(Penindasan)
4. D
Wajib
Fakultatif
Arbitrasi
5. E
Wajib
Wajib
Arbitrasi

 Sumber: Ralf Dahrendorf, 1986

Konsiliasi, tidak melibatkan pihak manapun dalam menuntaskan suatu pertentangan. Konsiliasi lebih cenderung pada upaya tenang yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertentangan terhadap kontradiksi yang mereka alami. Menurut Dahrendorf (1984), ketiga bentuk penyelesaian kontradiksi tersebut, yakni konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi sanggup dilaksanakan sebagai peratur an kontradiksi secara berurutan atau sanggup pula diterapkan secara terpisah- pisah berdasarkan situasi yang dihadapi.

Menurut Dahrendorf (1986), mediasi merupakan bentuk yang paling ringan dari campur tangan pihak luar dalam menuntaskan pertentangan. Kedua kelompok yang bertentangan setuju untuk berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta menawarkan nasihat. Akan tetapi, pesan tersirat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kelompok yang bertentangan. Sekilas, hal ini hanya menjanjikan imbas sedikit, tetapi dari pengalaman di banyak sekali bidang kehidupan sosial memperlihatkan bahwa mediasi merupakan suatu tipe penyelesaian kontradiksi yang berhasil (Dahrendorf, 1986).

Berkaitan dengan keberhasilan mediasi, Kerr dalam Dahrendorf (1986), mengungkapkan lima hal positif dari model ini:

  1. mengurangi perilaku irrasional, 
  2. menyinngkirkan perilaku non- rasional, 
  3. menjajaki penyelesaian, 
  4. membantu pengenduran perlahan, dan 
  5. meningkatkan biaya pertentangan. 
Dahrendorf (1986) juga mensyaratkan empat hal sebagai syarat wajib dipenuhi oleh pihak ketiga:
  1. Otonom, dibekali hak untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain.
  2. Memegang posisi monopoli, merupakan satu- satunya institusi dalam suatu perserikatan (satu- satunya kelompok di luar dua kelompok yang bertikai).
  3. Perannya harus dipatuhi, keputusan- keputusan yang telah dicapai harus mengikat kedua kelompok kepentingan.
  4. Demokratis, kedua kelompok yang bertentangan di dengar dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat sebelum keputusan diambil.

Berkaitan dengan arbitrasi, Lockwood (Dahrendorf, 1984) mengandung dua konsep, yaitu konsep politik dan pengadilan. Konsep pertama menawarkan kesan bahwa ialah menjadi kiprah untuk menemukan titik kompromi yang sanggup dilaksanakan di antara isu- info yang bertentangan. Sedangkan konsep kedua melihat kontradiksi dari sudut pandangan hukum, yakni menawarkan kiprah kepada arbitrator untuk menilai kebaikan info yang dipertentangkan itu berdasarkan ukuran yang pasti, benar atau salah.

Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik
Daftar Pustaka Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim, ed., 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas, Grasindo Jakarta
Dahrendorf, Ralf, 1986, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri; Sebuah Analisa- Kritik , C.V. Rajawali Pers, Jakarta.
The British Coouncil, 2001, Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Zed Book, London.
Miall, Hugh, dkk, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras, RajawaliPers, Jakarta.
Nurhasim, Moch., Konflik Tanah di Jenggawah, Tipologi dan Pola Penyelesaiannya, Prisma, LP3ES, Jakarta.

0 Response to "Teori Resolusi Konflik Cara Penyelesaian Konflik Politik"

Post a Comment