Manajemen Dalam Pendidikan
A. Latar Belakang Masalah Kualitas pendidikan di Indonesia ketika ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) wacana peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan insan Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia mempunyai daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih berdasarkan survai dari forum yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki masa ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan lantaran kesadaran akan ancaman keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan lantaran beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya yaitu memasuki masa ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memperlihatkan kesadaran gres bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan kini yaitu adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh sehabis kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya insan Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh lantaran itu, kita seharusnya sanggup meningkatkan sumber daya insan Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya insan di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak terang bahwa kasus yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yaitu rendahnya mutu pendidikan di aneka macam jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menimbulkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di aneka macam bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang menerima legalisasi dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang menerima legalisasi dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 Sekolah Menengan Atas ternyata hanya tujuh sekolah saja yang menerima legalisasi dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain yaitu kasus efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi kasus pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi materi bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang sanggup diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia ketika ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang sanggup diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
- Bagi Pemerintah, Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
- Bagi Guru, Bisa dijadikan sebagai pola dalam mengajar biar para penerima didiknya sanggup berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
- Bagi Mahasiswa, Bisa dijadikan sebagai materi kajian berguru dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Manajemen Dalam Pendidikan Teori
PEMBAHASAN
Makalah Manajemen Dalam Pendidikan Teori
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, alasannya yaitu pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara menyerupai melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan aneka macam masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya impian terpendam yang tidak sanggup mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru ketika ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru lantaran tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru usang yang sudah usang mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka mempunyai pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi kasus honor guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak usang lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di kawasan terbelakang. Namun, bagi penduduk di kawasan ndeso tersebut, yang terpenting yaitu ilmu terapan yang benar-benar digunakan buat hidup dan kerja. Ada banyak kasus yang menimbulkan mereka tidak berguru secara normal menyerupai kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
- Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan jalan masuk terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam jalan masuk pendidikan, menyerupai ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
- Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
- Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur menyerupai menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
- Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, yaitu penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
- Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati akomodasi penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif yaitu suatu pendidikan yang memungkinkan penerima didik untuk sanggup berguru dengan mudah, menyenangkan dan sanggup tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk sanggup meningkatkan keefektifan pembelajaran biar pembelajaran tersebut sanggup berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melaksanakan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya yaitu tidak adanya tujuan pendidikan yang terang sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menimbulkan penerima didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai citra yang terang dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan kasus terpenting jikalau kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jikalau kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya insan Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting yaitu telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan sanggup dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan menyerupai itu jugalah yang menimbulkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan sanggup mengambil pendidikaan sesuai talenta dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti kegiatan studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jikalau dibandingkan penerima didik yang mengikuti kegiatan studi yang sesuai dengan talenta dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya kasus gengsi tidak kalah pentingnya dalam menimbulkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien yaitu bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jikalau kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jikalau kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana sanggup meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa kasus efisiensi pengajaran di dindonesia yaitu mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menimbulkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga kuat dalam peningkatan sumber daya insan Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi diam-diam umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jikalau kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jikalau penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara wacana biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara hening biaya sekolah, training, kursus atau forum pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara wacana properti pendukung menyerupai buku, dan berbicara wacana biaya transportasi yang ditempuh untuk sanggup hingga ke forum pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jikalau sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun penerima didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya yaitu buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada penerima didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain kasus mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, kasus lainnya yaitu waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, sanggup kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih usang jikalau dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri hingga pukul 16.00.. Hal tersebut terang tidak efisien, lantaran ketika kami amati lagi, penerima didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak penerima didik yang mengikuti forum pendidikan informal lain menyerupai les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang usang tersebut tidak efektif juga, lantaran penerima didik kesudahannya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, kasus lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas yaitu mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menimbulkan penerima didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan kesudahannya mengambil pendidikan embel-embel yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang bersama-sama bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jikalau kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain yaitu pendidik tidak sanggup mengomunikasikan materi pengajaran dengan baik, sehingga gampang dimengerti dan menbuat tertarik penerima didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan penerima didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita memakai sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum gres lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pembinaan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jikalau terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif kemudian pribadi menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jikalau keluaran yang diinginkan sanggup dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jikalau masukan yang sekecil mungkin sanggup menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi hemat tercipta jikalau ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan kepingan dari konsep efisiensi lantaran tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu kegiatan pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien yaitu kegiatan yang bisa membuat keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara wacana standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya sehabis melewati proses untuk memilih standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam forum pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat kini ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam aneka macam versi, demikian pula sehingga dibuat badan-badan gres untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut menyerupai Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan kesudahannya membawa kami dalam pengunkapan adanya ancaman yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman biar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana biar pendidikan yang diambil efektif dan sanggup digunakan. Tidak perduli bagaimana cara biar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga yaitu memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal menyerupai di atas sangat disayangkan lantaran berarti pendidikan menyerupai kehilangan makna saja lantaran terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu terang salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jikalau kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem penilaian menyerupai UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan yaitu penilaian pendidikan menyerupai itu yang memilih lulus tidaknya penerima didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu penerima didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, penilaian menyerupai itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh penerima didik.
Banyak hal lain juga yang bersama-sama sanggup kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menimbulkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal menyerupai itu sanggup kita temukan jikalau kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jikalau kita mengetehui akar permasalahannya, kita sanggup memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa kasus yang menimbulkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media berguru rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak mempunyai gedung sendiri, tidak mempunyai perpustakaan, tidak mempunyai laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 forum yang menampung 25.918.898 siswa serta mempunyai 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi lantaran kondisi MI lebih jelek daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan Sekolah Menengah kejuruan meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum mempunyai profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melaksanakan pembimbingan, melaksanakan pelatihan, melaksanakan penelitian dan melaksanakan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru berdasarkan kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di aneka macam satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk Sekolah Menengah Pertama 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk Sekolah Menengan Atas 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk Sekolah Menengah kejuruan yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu terang berafiliasi dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) memperlihatkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs gres 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, gres 57,8% yang mempunyai pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, gres 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memperlihatkan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai kiprah dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru mendapatkan honor bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan menyerupai itu, terang saja, banyak guru terpaksa melaksanakan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memperlihatkan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan menerima penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain mencakup honor pokok, pertolongan yang menempel pada gaji, pertolongan profesi, dan/atau pertolongan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi kawasan khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi kasus lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, kasus kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 kemudian United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi wacana kualitas insan secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, berdasarkan Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menerangkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya bisa menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin lantaran mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi berdasarkan majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya bisa menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menerangkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya insan secara keseluruhan. Oleh lantaran itu dibutuhkan kebijakan dan taktik pemerataan pendidikan yang sempurna untuk mengatasi kasus ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut sanggup dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan semenjak tahun 1990 menerangkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak mempunyai keterampilan hidup sehingga menimbulkan kasus ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika penerima didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam kursi pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak mempunyai pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk Taman Kanak-kanak dan SDN saja ketika ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — hingga Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan kini ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melaksanakan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha mempunyai jalan masuk atas modal yang lebih luas. Hasilnya, sehabis Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, lantaran yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah yaitu orang-orang erat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih jelek dengan adanya RUU wacana Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum terang mempunyai konsekuensi hemat dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara gampang sanggup melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik tubuh aturan yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun bermetamorfosis Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS yaitu beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya kiprah negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar menyerupai pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, menyerupai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) wacana Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP wacana Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk tubuh aturan pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah mempunyai otonomi untuk memilih sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, jalan masuk rakyat yang kurang bisa untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan kegiatan Kapitalisme global yang telah dirancang semenjak usang oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi tubuh aturan pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang kini berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang mustahil murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah bersama-sama yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin jalan masuk masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak sanggup dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang sanggup diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia kini ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan kiprah dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme ketika ini wajib dilarang dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait pribadi dengan pendidikan. Solusi ini contohnya untuk menuntaskan kasus kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya mudah untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memperlihatkan aneka macam pembinaan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Manajemen Dalam Pendidikan
PENUTUP
Manajemen Dalam Pendidikan
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang sanggup diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta bisa bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia biar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain yaitu dengan meningkatkan kualitas manajemen dalam pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas manajemen dalam pendidikan berarti penyelenggaraan pendidikan guna meningkatkan sumber daya insan yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan bisa membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Untuk lebih lengkap makalahnya silakan klik dibawah ini!!!
0 Response to "Makalah Administrasi Dalam Pendidikan Teori"
Post a Comment