Penyebab Perceraian, Pengertian, Dampak, Makalah Menurut Para Ahli - Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk didalamnya anak-anak. Perceraian juga sanggup menimbulkan stres dan stress berat untuk memulai kekerabatan yang gres dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah janjkematian pasangan hidup.
Latar belakang Artikel Perceraian - Menurut Gunarsa (1999) perceraian yaitu pilihan paling menyakitkan bagi pasutri. Namun demikian, perceraian bisa jadi pilihan terbaik yang bisa membukakan jalan bagi kehidupan gres yang membahagiakan. Perceraian yaitu perhentian kekerabatan perkawinan karena kehendak pihak-pihak atau salah satu pihak yang terkait dalam kekerabatan perkawinan tersebut. Perceraian menjadikan status seorang laki-laki bagi suami, maupun status seorang perempuan sebagai istri akan berakhir. Namun perceraian tidaklah menghentikan status mereka masing-masing sebagai ayah dan ibu terhadap anak-anaknya. Hal ini karena kekerabatan antara ayah atau ibu dengan anak-anaknya yaitu kekerabatan darah yang non-kontraktual, yang karena itu tidaklah akan bisa diputus begitu saja lewat suatu pernyataan kehendak.
Perceraian berdasarkan Bell (1979) merupakan putusnya ikatan legal yang menyatukan sepasang suami-istri dalam satu rumah tangga, secara sosial perceraian membangun kesadaran pada masing-masing individu bahwa perkawinan mereka telah berakhir. Istilah perceraian (Divorce) berdasarkan Bell (1979) harus dibedakan dengan masalah dimana salah satu pasangan meninggalkan keluarganya dalam waktu yang cukup usang (desertion).
Pengertian Perceraian berdasarkan para ahli Hurlock (1996), perceraian merupakan kalminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk, dan yang terjadi bila antara suami-istri sudah tidak bisa lagi mencari cara penyelesaian masalah yang sanggup memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan alasan lainnya. Perpisahan atau abolisi perkawinan sanggup dilakukan secara aturan maupun dengan belakang layar dan kadang ada juga masalah dimana salah satu pasangan (istri/suami) meninggalkan keluarga (minggat).
Perceraian berdasarkan Undang - Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1994 (pasal 16), terjadi apabila antara suami-istri yang bersangkutan mustahil lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga. Perceraian terjadi terhitung pada dikala perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan (pasal 18). Gugatan perceraian sanggup diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya pada pengadilan dengan alasan–alasan yang sanggup diterima oleh pengasilan yang bersangkutan.
Undang Undang Perkawinan, 1974 Bab VIII, pasal 39 ayat 2 berbunyi : “ untuk melaksanakan perceraian harus ada cukup alasan antara suami istri untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri”
Menurut Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974, perceraian yaitu keadaan terputusnya suatu ikatan perkawinan. Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974 pasal 39 – 41, yaitu :
- Cerai gugat
Cerai gugat yaitu terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri yang melayangkan somasi cerai kepada sang suami.
- Cerai talak
Cerai talak yaitu putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini sang suami memperlihatkan talak kepada sang istri.
Inversion et. Al mendefinisikan sebagai pemutusan dan pengingkaran ikrar kesepakatan nikah serta keseluruhan kewajiban moral, aturan dan jasmani yang tercakup didalamnya. Perceraian yaitu suatu proses yang menimbulkan pergolakan secara emosional bagi orang-orang sampaumur maupun bawah umur (Tomlinson & Keasey, 1985).
Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai insiden berpisahnya pasgan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan karena tercapainya kat setuju mengenai masalah hidup bersama. Emery (1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena tidak bisa menuntaskan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah yang tiba dari dalam atau masalah dari luar keluarga.
Dari pengertian diatas sanggup disimpulkan bahwa perceraian yaitu putusnya kekerabatan perkawinan karena kehendak kedua belah pihak, baik itu perceraian berdasarkan secara aturan maupun perceraian dengan diam-diam. Sehingga menjadikan status suami atau istri berakhir. Perceraian ini diakibatkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, dan sejahtera.
Jenis – Jenis Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
- Cerai hidup
Perceraian yaitu berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh aturan atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup yaitu berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup.
Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
- Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang yaitu meninggalnya pasangan hidup yang dicintai.
Benaim (dalam Ulfasari, 2006) menyampaikan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang perempuan akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat sanggup melupakan atau menuntaskan masalah tersebut dan menentukan untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para perempuan yang ditinggal mati suaminya biasanya akan mempunyai masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.
Penyebab Perceraian
Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memperlihatkan bantuan terhadap perceraian, yaitu :
Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memperlihatkan bantuan terhadap perceraian, yaitu :
- a. Usia dikala menikah
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun.
- b. Tingkat pendapatan
Angka perceraian di populasi yang mempunyai pendapatan dan tingkat pendidikan rendah cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke atas.
- c. Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; ibarat : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
- d. Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa bawah umur dari keluarga yang bercerai cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya yaitu keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan yang dipandang sah untuk seorang istri biar sanggup melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan suaminya umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami terhadap dirinya.
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang sangat besar lengan berkuasa dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul (Turner & Helms, 1983).
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang bisa menjalin kekerabatan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin menang sendiri (Gunarsa, 1999).
Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga memperlihatkan kegagalan dalam berbagi dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga menjadikan putusnya ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang sangat besar lengan berkuasa dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul (Turner & Helms, 1983).
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang bisa menjalin kekerabatan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin menang sendiri (Gunarsa, 1999).
Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga memperlihatkan kegagalan dalam berbagi dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga menjadikan putusnya ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a. Ketidakharmonisan dalam berumah tangga
Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh banyak sekali hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.
b. Krisis moral dan akhlak
Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan budbahasa contohnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan sikap lainnya contohnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c. Perzinahan
Terjadinya perzinahan yaitu kekerabatan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam aturan perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang sanggup menjadikan berakhirnya percereaian.
e. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan yaitu bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.
Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Perceraian menjadi salah satu masalah yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan pengambilan keputusan yang penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu :
Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh banyak sekali hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.
b. Krisis moral dan akhlak
Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan budbahasa contohnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan sikap lainnya contohnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c. Perzinahan
Terjadinya perzinahan yaitu kekerabatan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam aturan perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang sanggup menjadikan berakhirnya percereaian.
e. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan yaitu bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.
Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Perceraian menjadi salah satu masalah yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan pengambilan keputusan yang penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu :
- Perceraian Emosional merupakan awal masalah dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk perceraian ini yaitu tahapan awal yang sangat besar lengan berkuasa dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul. Perilaku-perilaku yang muncul diantanya yaitu konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan kebencian.
- Perceraian Legal memerlukan forum pengaduan untuk memutuskan ikatan perkawinan. Pasangan biasanya mengalami kelegaan, kalau perceraiannya telah diputuskan secara legal dimana banyak sekali lisan emosional akan muncul pada tahap ini.
- Perceraian Ekonomi memperlihatkan pada tahap dimana pasangan telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka masing-masing. Pada tahap ini seringkali diperlukan seorang penengah karena biasanya Kedua pasangan memperlihatkan reaksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.
- Perceraian antar orang renta merupakan tahapan keempat yang berkenan dengan masalah pengasuhan anak. Kekhawatiran dan perhaatian terhadap efek perceraian pada anak seringkali muncul dalam tahap ini.
- Perceraian Komunitas memperlihatkan bahwa status individu dalam kekerabatan sosial menjadi berubah. Banyak individu yang bercerai merasa bahwa mereka terisolasi dan kesepain.
- Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi individu yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali peran-peran dan penyesuaian mental.
Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu dikala menghadapi perceraian umumnya yaitu reaksi – reaksi yang bersifat emosional. Rekasi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada risikonya baiklah untuk bercerai, hanya ketika melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan keputusan yang terbaik dari pada mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.
Dampak Perceraian
1. Traumatik
Setiap perubahan akan menjadikan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melaksanakan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, ibarat pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga sanggup mengakibatkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985).
Hurlock (1996) efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan setelah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta menjadikan cela sosial.
Stres akhir perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai mempunyai tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, ibarat gangguan tidur, dari pada orang sampaumur yang sudah menikah.
Hurlock (1996) efek perceraian sangat besar lengan berkuasa pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian menjadikan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi materi rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.
Setiap perubahan akan menjadikan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melaksanakan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, ibarat pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga sanggup mengakibatkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985).
Hurlock (1996) efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan setelah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta menjadikan cela sosial.
Stres akhir perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai mempunyai tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, ibarat gangguan tidur, dari pada orang sampaumur yang sudah menikah.
Hurlock (1996) efek perceraian sangat besar lengan berkuasa pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian menjadikan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi materi rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.
2. Perubahan Peran dan Status
Efek yang paling terang dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta mengakibatkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik laki-laki mupun perempuan yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak perempuan yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka ihwal maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mengasihi seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan tugas sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik laki-laki maupun perempuan akan terhenti dalam melaksanakan kekerabatan seksual secara rutin. Bagi laki-laki biasanya sanggup menyelesaikn masalahnya dengan menjalin kekerabatan seksual dengan perempuan lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menuntaskan masalah seksualnya.
Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini sanggup disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.
Efek yang paling terang dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta mengakibatkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik laki-laki mupun perempuan yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak perempuan yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka ihwal maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mengasihi seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan tugas sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik laki-laki maupun perempuan akan terhenti dalam melaksanakan kekerabatan seksual secara rutin. Bagi laki-laki biasanya sanggup menyelesaikn masalahnya dengan menjalin kekerabatan seksual dengan perempuan lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menuntaskan masalah seksualnya.
Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini sanggup disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.
3. Sulitnya Penyesuaian Diri
Kehilangan pasangan karena janjkematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi perempuan yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi laki-laki yang bercerai. Karena perempuan yang diceraikan cenderung dikucilkan dari acara sosial, dan yang labih jelek lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya. Namun kalau laki-laki yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan teladan hidup (Hurlock,1996)
Beberapa individu, tidak pernah sanggup menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, hingga pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara kekerabatan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan ihwal kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu
Kehilangan pasangan karena janjkematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi perempuan yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi laki-laki yang bercerai. Karena perempuan yang diceraikan cenderung dikucilkan dari acara sosial, dan yang labih jelek lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya. Namun kalau laki-laki yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan teladan hidup (Hurlock,1996)
Beberapa individu, tidak pernah sanggup menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, hingga pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara kekerabatan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan ihwal kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu
- Menyangkal bahwa ada perceraian,
- Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,
- Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,
- Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akhir menyeluruh dari perceraian terhadap kelurga,
- Dan risikonya mereka baiklah untuk bercerai.
Dampak perceraian khususnya sangat besar lengan berkuasa pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian mengakibatkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini, khususnya kalau bawah umur memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, sanggup menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai menyesuaikan diri dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses penyesuaian pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit mendapatkan kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi.
Namun banyak perempuan dan laki-laki yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memperlihatkan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang gres (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang sanggup menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi ihwal akhir perceraian pada anggota keluarga membawa efek yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian sedikit demi sedikit akan terjadi penyesuaian terhadap banyak sekali masalah yang ada dalam keluarga.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai menyesuaikan diri dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses penyesuaian pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit mendapatkan kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi.
Namun banyak perempuan dan laki-laki yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memperlihatkan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang gres (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang sanggup menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi ihwal akhir perceraian pada anggota keluarga membawa efek yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian sedikit demi sedikit akan terjadi penyesuaian terhadap banyak sekali masalah yang ada dalam keluarga.
Daftar Pustaka - Penyebab Perceraian, Pengertian, Dampak, Makalah Menurut Para Ahli
Gunarsa, S. D. (1999). Psikologi untuk Keluarga. Cetakan ke-13. Jakarta : Gunung Agung Mulia.
Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. 5th edition. Illinois : The Dorsey Press.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall International.
Newman, B. M. & Newman, P. R. (1984). Development through Life : A Psychological Approach. 3rd edition. Chicago : The Dorsey Press.
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1983). Lifespan Development. 2nd edition. New York : CBS College Publishing.
Hadiwardoyo, P. (1990). Perkawinan berdasarkan Islam dan Nasrani : Implikasinya dalam Kawin Campur. Yogyakarta : Kanisius.
Fauzi, D.A. (2006). Perceraian Siapa Takut…!. Jakarta : Restu Agung
Papalia, Diane E. (2001). Human Development. 8th edition. New York : Mc Graw Hill.
Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. 5th edition. Illinois : The Dorsey Press.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall International.
Newman, B. M. & Newman, P. R. (1984). Development through Life : A Psychological Approach. 3rd edition. Chicago : The Dorsey Press.
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1983). Lifespan Development. 2nd edition. New York : CBS College Publishing.
Hadiwardoyo, P. (1990). Perkawinan berdasarkan Islam dan Nasrani : Implikasinya dalam Kawin Campur. Yogyakarta : Kanisius.
Fauzi, D.A. (2006). Perceraian Siapa Takut…!. Jakarta : Restu Agung
Papalia, Diane E. (2001). Human Development. 8th edition. New York : Mc Graw Hill.
0 Response to "Penyebab Perceraian Pengertian Imbas Makalah Berdasarkan Para Ahli"
Post a Comment