Pengertian Perjanjian Secara Umum | Definisi Perjanjian

Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan yakni suatu perhubungan aturan antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. ( Pengertian Perjanjian )


Definisi Perjanjian Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.
Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi yakni suatu perhubungan aturan yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh aturan atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang sanggup menuntutnya di depan hakim.

Suatu perjanjian yakni suatu insiden dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari insiden ini, timbullah suatu korelasi antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.(Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6) 

Dengan demikian korelasi antara perikatan dan perjanjian yakni bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian yakni sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, lantaran dua pihak itu oke untuk melaksanakan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu yakni sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit lantaran ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Makara ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".

Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu sanggup dilihat bahwa perikatan yakni suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian yakni suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak sanggup melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya sanggup membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita sanggup melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang menciptakan suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud biar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, lantaran kesepakatan yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau kesepakatan itu sudah dipenuhi.

Suatu perikatan merupakan suatu korelasi aturan antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang sanggup dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini sanggup dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.
Disamping bentuk yang paling sederhana itu, aturan perdata mengenal pula aneka macam macam perikatan yaitu sebagai berikut :

1.    Perikatan bersyarat.
Suatu perikatan yakni bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu insiden yang masih akan tiba dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan sampai terjadinya insiden semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan berdasarkan terjadinya atau tidak terjadinya insiden tersebut.

Dalam aturan perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut sampai ketika lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal yakni suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seperti tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.
Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila insiden yang dimaksudkan itu terjadi.

2.    Perikatan dengan ketetapan waktu.
Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya atau pun menentukan usang waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.
Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang.
Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak sanggup ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak sanggup diminta kembali.

3.    Perikatan mana suka (alternatif).
Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jikalau ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia dilarang memaksa si berpiutang untuk mendapatkan sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya, hak menentukan ada pada si berutang, jikalau hak ini tidak secara tegas diberikan kepada berpiutang.

4.    Perikatan tanggung menanggung atau solider.
Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu sanggup dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.

Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya.
Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka terserah kepada si berutang, untuk menentukan kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.

5.    Perikatan yang sanggup dibagi dan yang tak sanggup dibagi.
Adalah sekedar prestasinya sanggup dibagi berdasarkan imbangan, pembagian mana tidka boleh mengurangi hakekat prestasi itu.

Soal sanggup atau tidak sanggup dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga sanggup disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.
Dapat dibagi berdasarkan sifatnya, contohnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak sanggup dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, lantaran kuda tidak sanggup dibagi tanpa kehilangan hakekatnya.

Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi berdasarkan sifatnya sanggup dipecah-pecah, tetapi berdasarkan maksudnya perikatan tidak sanggup dibagi, contohnya perikatan untuk menciptakan suatu jalan raya antara dua tempat, berdasarkan sifatnya sanggup dibagi, contohnya kalau jarak antara kawasan tersebut 200 Km, yakni mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-masing 100 Km. Tetapi berdasarkan maksud perjanjian terang pekerjaan tersebut harus dibuat seluruhnya, jikalau tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh lantaran itu perikatan tadi yakni suatu perikatan yang tak sanggup dibagi.

6.    Perikatan dengan bahaya hukuman.
Perikatan semacam ini yakni suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melaksanakan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan eksekusi ini dimaksudkan sebagai gantinya. Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang lantaran tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia memiliki dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang biar ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian perihal jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.

Dalam perjanjian-perjanjian dengan bahaya eksekusi atau denda ini lazimnya ditetapkan eksekusi yang sangat berat, kadang kala terlampau berat. Menurut pasal 1309, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan eksekusi itu apabila perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau berat.
Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan azas konsensualisme dalam aturan perjanjian.

Dikatakan bahwa aturan benda memiliki suatu sistem tertutup, sedangkan aturan perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak atas benda yakni terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan aturan perjanjian menawarkan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari aturan perjanjian merupakan apa yang dinamakan aturan aksesori (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang menciptakan suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Memang tepat sekali nama aturan aksesori itu, lantaran benar-benar pasal-pasal dari aturan perjanjian itu sanggup dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan menciptakan perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seperti berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan menciptakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau perihal apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya menyerupai undang-undang.

Selanjutnya sistem terbuka dari aturan perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling populer saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Dalam aturan perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah oke atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti asas konsensualisme ialah intinya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan semenjak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah dibutuhkan sesuatu formalitas.

Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan sertifikat notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :
"Untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan empat syarat : 
  1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;
  2. Kecakapan untuk menciptakan suatu perjanjian;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu alasannya yakni yang halal".

Oleh lantaran dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata memutuskan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk menciptakan suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu alasannya yakni yang halal.

Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, sanggup dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam, harus bebas dari dampak atau tekanan menyerupai :
  1. Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);
  2. Kekhilafan;
  3. Penipuan.

Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, sanggup dikatakan secara tegas-tegas dan sanggup pula secara tidak tegas.

Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur perihal siapa yang dianggap tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).

Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak bisa untuk menciptakan sendiri perjanjian dengan sempurna, contohnya belum dewasa yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun intinya cakap untuk mengikatkan dirinya namun tidak sanggup atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak sanggup melaksanakan perbuatan-perbuatan aturan tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap peristiwa, apakah hasilnya dan harus diperhatikan maksudnya.

Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang sanggup diperdagangkan. 
Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang immaterial, contohnya perjanjian untuk menawarkan les piano, investigasi oleh dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya sanggup ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak niscaya asal kemudian sanggup dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum bisa dipanen.
 Adapun yang dimaksud dengan perikatan yakni suatu perhubungan aturan antara dua orang ata Pengertian Perjanjian Secara Umum | Definisi Perjanjian

Kausa yang halal (Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata), dari pasal-pasal tersebut ternyata ada perjanjian dengan alasannya yakni palsu atau tidak halal, perjanjian tanpa sebab. Undang-undang tidak menawarkan klarifikasi apa yang dimaksud dengan alasannya yakni (kausa) itu. Khusus dengan perantaraan pengertian kausa diselidiki apakah tujuan pembuatan perjanjian apakah untuk itu? Apakah isi perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Sedangkan debitur yang melalaikan atau tidak memenuhi kewajibannya dinamakan melaksanakan wanprestasi, sedangkan kreditur terbukti telah melaksanakan prestasinya. Dalam hal ini debitur wajib mengganti kerugian.
Syarat-syarat penentuan kerugian :
  1. Pihak debitur llai memenuhi prestasinya;
  2. Pihak debitur tidak berada dalam keadaan memaksa (overmacht);
  3. Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk melumpuhkan tuntutan;
  4. Adanya gugatan (teguran) terlebih dahulu dari pihak kreditur.


Macam-macam wanprestasi :
  1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
  2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya;
  3. Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
  4. Melakukan sesuatu yang berdasarkan perjanjian dilarang diperjanjikan.

Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6

0 Response to "Pengertian Perjanjian Secara Umum | Definisi Perjanjian"

Post a Comment