Pengaruh Tradisi Budaya Terhadap Tasawuf

PENGARUH TRADISI/BUDAYA TERHADAP TASAWUF

Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan musli maupun nonmuslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain.


Mereka menyampaikan bahwa tasawuf dalam Islam (misticisme, sifisme) tumbuh alasannya yakni terpengaruh oleh aliran luar Islam, antara lain aliran agama Hindu, agama Persia, aliran agama Masehi, pemikiran filsafat Yunani, dan aliran Neo Platonisme.

Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari Masehi (Kriten), sebagian lagi menyampaikan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani, Arab, dan sebagainya.

a.    Agama Nasrani

Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal aliran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.

Von Kromyer beropini bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher beropini bahwa perilaku fakir dalam Islam merupakan imbas dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, mirip pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama Hindu disamping Neo-Platonisme.

Abu Bakar Aceh, sebagaimana dikutip Abdul Qadir Zaelani, pernah menulis bahwa agama Yahudi dan agama Nasrani mempengaruhi pula cara berfikir dalam Islam.

Pokok-pokok aliran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
  1. Sikap fakir. Al-Masih yakni fakir. Bibel disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Bibel Matius, “Berntunglah kau orang-orang miskin alasannya yakni bagi kamulah kerajaan Allah… Beruntunglah kau orang yang lapar alasannya yakni kau akan kenyang.”
  2. Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatan dalam Injil, “Perhatikan burung-burung dilangit, beliau tidak menanam, beliau tidak mengetam dan tidak sedih cita pada waktu susah. Bapak kau dari langit memberi kekutan kepadanya. Bukankah kau lebih mulia daripada burung?”
  3. Peranan Syeikh yang mirip pendeta. Perbedaanya pendeta sanggup menghapuskan dosa.
  4. Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah alasannya yakni menikah dianggap sanggup mengalihkan diri dari Tuhan.
  5. Penyaksian, bahwa syufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan kekerabatan dengan Allah. Bibel pun telah pertanda terjadinya kekerabatan pribadi dengan Tuhan.


b.    Agama Budha/Hindu

Tasawuf dan Nasrani kepercayaan agama Hindu mempunyai persamaan, mirip perilaku fakir. Pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu tubuh kebadan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.

Salah satu maqamat syufiyah, yaitu al-Fana mempunyai persamaan dengan aliran ihwal surga dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, aliran surga agama Budha mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif.

Goldziher menyampaikan bahwa ada kekerabatan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwish.

Qamar Kailani dalam ulasannya ihwal asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang menyampaikan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa aliran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang aliran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan mirip itu.


c.     Budaya Persia

Sebenarnya Arab dan Persia mempunyai kekerabatan semenjak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi besar lengan berkuasa yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab.

Sejak zaman klasik, bahkan hingga ketika ini, populer sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnyaadalah spesialis gaib dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah mendapatkan dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).

Kebanyakan andal tasawuf muslim yang berpikiran moderat menyampaikan bahwa factor pertama timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.

d.    Pemikiran Hellinisme/Yunani

Kebudayaan Yunani, mirip filsafat, telah masuk kedunia Islam pada simpulan Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani.

Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola piker sebaian orang Islam yang ingin bekerjasama dengan Tuhan. Pada duduk kasus ini, boleh jadi tasawuf yang terkena imbas Yunani yakni tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat.

Mungkin saja aliran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah baik, hati insan hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, mirip Syaufan pertanda bahwa banyak bab dari dongeng “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi.

Selain itu, ada yang menyampaikan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.

Filsafat emanasinya plotinus yang menyampaikan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal-mula tasawuf di dunia Islam.

Ketika aliran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup kedalam tasawuf, hal yang pertama terjadi yakni penolakan terhadap “keberbedaan” benda-benda (ghairiyat) dari Allah.

Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian tidak mungkin di sanggup oleh sufi yang populer dengan keanehan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil rujukan ungkapan keanehan yang dibawakan oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau ungkapan Abu Yazid Al-Busthami, “Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”, mereka merasa tidak perlu lagi syari’at Isalam. Ini pulalah yang dikatakan “nihilisme syari’at.”

Neo-Platonisme, berdasarkan mir Valiudin, yakni benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya objek yang sebetulnya justru diabaikan.

Ungkapan Neo-Platonisme, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Hal ini bias jadi mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak sanggup disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof), mirip Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat.

0 Response to "Pengaruh Tradisi Budaya Terhadap Tasawuf"

Post a Comment