Pengertian Resiliensi, Definisi Konsep Jurnal Teori Psikologi - Grotberg (1999) menyatakan bahwa resiliensi ialah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melaksanakan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami. Setiap individu mempunyai kapasitas untuk menjadi resilien. Konsep resiliensi menitikberatkan pada pembentukan kekuatan individu sehingga kesulitan sanggup dihadapi dan diatasi. Aspek-aspek dalam resiliensi >> Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Definisi Resiliensi Menurut Para Ahli Psikologi - Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi ialah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi ialah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman gres dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi menghasilkan dan mempertahankan sikap positif untuk digali. Individu dengan resiliensi yang baik memahami bahwa kesalahan bukanlah selesai dari segalanya. Individu mengambil makna dari kesalahan dan memakai pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi. Individu menggembleng dirinya dan memecahkan duduk kasus dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik.
Connor & Davidson (2003) menyampaikan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Block & Kreman (Xianon&Zhang, 2007) menyatakan bahwa resiliensi dipakai untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan/survive dan bisa mengikuti keadaan dalam keadaan stress dan mengalami penderitaan.
Berdasarkan uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa resiliensi ialah kapasitas individu, untuk mengikuti keadaan dengan keadaan, dengan merespon secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga bisa menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari.
Berdasarkan Reivich dan Shatte (2002), ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu :
a. Pengendalian emosi
Pengendalian emosi ialah suatu kemampuan untuk tetap damai meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang mempunyai resiliensi yang baik, memakai kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan sempurna ialah penggalan dari resiliensi. Individu yang tidak resilient cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan mengalami dikala yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menuntaskan masalah.
Pengendalian emosi ialah suatu kemampuan untuk tetap damai meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang mempunyai resiliensi yang baik, memakai kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan sempurna ialah penggalan dari resiliensi. Individu yang tidak resilient cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan mengalami dikala yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menuntaskan masalah.
b. Kemampuan untuk mengontrol impuls
Kemampuan untuk mengontrol impuls bekerjasama dengan pengendalian emosi. Individu yang besar lengan berkuasa mengontrol impulsnya cenderung mempu mengendalikan emosinya. Perasaan yang menantang sanggup meningkatkan kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan pedoman lebih akurat, yang mengarahkan kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan sikap yang lebih resilient.
Kemampuan untuk mengontrol impuls bekerjasama dengan pengendalian emosi. Individu yang besar lengan berkuasa mengontrol impulsnya cenderung mempu mengendalikan emosinya. Perasaan yang menantang sanggup meningkatkan kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan pedoman lebih akurat, yang mengarahkan kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan sikap yang lebih resilient.
c. Optimis
Individu dengan resiliensi yang baik ialah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu sanggup berkembang menjadi lebih baik. Individu mempunyai impian akan masa depan dan sanggup mengontroal arah kehidupannya. Optimis menciptakan fisik menjadi lebih sehat dan tidak gampang mengalami depresi. Optimis memperlihatkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang tidak sanggup dihindari di kemudian hari. Hal ini bekerjasama dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan kasus dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam resiliensi. Penelitian memperlihatkan bahwa optimis dan self efficacy saling bekerjasama satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi.
Individu dengan resiliensi yang baik ialah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu sanggup berkembang menjadi lebih baik. Individu mempunyai impian akan masa depan dan sanggup mengontroal arah kehidupannya. Optimis menciptakan fisik menjadi lebih sehat dan tidak gampang mengalami depresi. Optimis memperlihatkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang tidak sanggup dihindari di kemudian hari. Hal ini bekerjasama dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan kasus dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam resiliensi. Penelitian memperlihatkan bahwa optimis dan self efficacy saling bekerjasama satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi.
d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah
Analisis penyebab berdasarkan Martin Seligman, dkk (dalam Reivich dan Shatte, 2002), ialah gaya berpikir yang sangat penting untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu ialah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang baik maupun yang jelek yang terjadi pada individu. Individu dengan resiliensi yang baik sebagian besar mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan sanggup mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk merenungkan insiden atau keadaan di luar kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang sanggup dikontrol, dan mengarah pada perubahan.
Analisis penyebab berdasarkan Martin Seligman, dkk (dalam Reivich dan Shatte, 2002), ialah gaya berpikir yang sangat penting untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu ialah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang baik maupun yang jelek yang terjadi pada individu. Individu dengan resiliensi yang baik sebagian besar mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan sanggup mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk merenungkan insiden atau keadaan di luar kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang sanggup dikontrol, dan mengarah pada perubahan.
e. Kemampuan untuk berempati Beberapa individu mahir dalam menginterpretasikan apa yang para andal psikologi katakan sebagai bahasa non ekspresi dari orang lain, menyerupai ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan memilih apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Walaupun individu tidak bisa menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, namun bisa untuk memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam kekerabatan interpersonal, kemampuan untuk membaca gejala non ekspresi menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk mencicipi dan dimengerti orang lain.
f. Self efficacy
Self efficacy ialah keyakinan bahwa individu sanggup menuntaskan masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam kehidupan. Self efficacy menciptakan individu lebih efektif dalam kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy yang baik, mempunyai keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya mempunyai talenta dan ketrampilan, yang sanggup dipakai untuk mengontrol lingkungannya.
Self efficacy ialah keyakinan bahwa individu sanggup menuntaskan masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam kehidupan. Self efficacy menciptakan individu lebih efektif dalam kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy yang baik, mempunyai keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya mempunyai talenta dan ketrampilan, yang sanggup dipakai untuk mengontrol lingkungannya.
g. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan
Resiliensi menciptakan individu bisa meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi ialah sumber dari kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, sebab berdasarkan pengalaman sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang bekerjsama dari kemampuannya.
Resiliensi menciptakan individu bisa meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi ialah sumber dari kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, sebab berdasarkan pengalaman sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang bekerjsama dari kemampuannya.
Connor & Davidson (2003), menyampaikan bahwa resiliensi akan terkait dengan hal-hal di bawah ini :
- Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan. Ini memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang bisa mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan
- Percaya pada diri sendiri, mempunyai toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres, Ini bekerjasama dengan ketenangan , cepat melaksanakan coping terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah
- Menerima perubahan secara positif dan sanggup menciptakan kekerabatan yang kondusif (secure) dengan orang lain. Hal Ini bekerjasama dengan kemampuan mengikuti keadaan atau bisa mengikuti keadaan kalau menghadapai perubahan
- Kontrol/pengendalian diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan proteksi dari orang lain
- Pengaruh spiritual, yaitu yakin yakin pada Tuhan atau nasib.
Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang menghipnotis resiliensi ialah :
- Social support, yaitu berupa community support, personal support, familial support serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal
- Cognitive skill, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah, kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol pribadi dan spiritualitas
- Psychological resources, yaitu locus of control internal, tenggang rasa dan rasa ingin tahu, cenderung mencari pesan tersirat dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap situasi
Dukungan Sosial
Sarafino (1997), mendefiniskan dukungan sosial sebagai perasaan nyaman, penghargaan, perhatian atau proteksi yang diperoleh seseorang dari orang lain atau kelompoknya. Cohen dan Syrne (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat atau menguntungkan yang diperoleh individu dari orang lain baik berasal dari kekerabatan sosial struktural yang meliputi keluarga/teman dan forum pendidikan maupun berasal dari kekerabatan sosial yang fungsional yang meliputi dukungan emosi, informasi, evaluasi dan instrumental.
Gottlieb (Smet, 1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial ialah proteksi aktual atau tindakan yang diberikan oleh orang terdekat yang sanggup menimbulkan reaksi emosional dan perubahan sikap pada orang yang mendapatkan proteksi tersebut. Cohen & Syrne (1985) beropini bahwa dukungan sosial bersumber dari : daerah kerja, keluarga, pasangan suami istri, sahabat di lingkungan sekitar. Dukungan sosial secara efektif sanggup mengurangi penyebab timbulnya stres psikologis ketika menghadapi masa-masa yang sulit (Cohen & Wills, Kessler & Mc Leod, dan Littlefiled, dkk).
Bentuk-bentuk dukungan sosial (Sarafino, 1997) :
- Dukungan Emosional (Emotional Support) : menyangkut ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orag-orang yang bersangkutan. Dukungan menghadirkan perasaan nyaman, tentram, rasa memiliki, dan merasa dicintai ketika mengalami stres
- Dukungan penghargaan (Esteem support) : dukungan dalam bentuk penghargaan terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) penerimaan yang positif untuk orang yang bersangkutan.
- Dukungan berupa pemberian alat (Tangible or Instrumental Support) : meliputi proteksi eksklusif menyerupai memperlihatkan pinjaman uang atau benda
- Dukungan Informasi (Informational Support) : dukungan dalam bentuk isu sanggup berupa pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk, cara-cara ataupun umpan balik
Referensi - Pengertian Resiliensi, Definisi Konsep Jurnal Teori Psikologi
Grotberg, E.H. 1999. Tapping Your Inner Strength. Oakland : New Harbinger Publication, Inc.
https://harapansarjana.blogspot.com//search?q=resiliensi-pada-penderita-kanker
Reivich, K. And Shatte, A. 2002. The Resilience Factor . New York : Random House, Inc.
Connor & Davidson, 2003. Develompment of The New Resilience Scale : The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and Anxiety. Vol 18 : 76-83
Yu, X & Zhang. J. Factor Analysis and Psychometric Evaluation of The Connor-Davidson Resilience Scala (CD-RISC) with Chinese People. Journal of Social Behavior and Personality. 2007. 35 (1), 19-30.
https://harapansarjana.blogspot.com//search?q=resiliensi-pada-penderita-kanker
Reivich, K. And Shatte, A. 2002. The Resilience Factor . New York : Random House, Inc.
Connor & Davidson, 2003. Develompment of The New Resilience Scale : The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and Anxiety. Vol 18 : 76-83
Yu, X & Zhang. J. Factor Analysis and Psychometric Evaluation of The Connor-Davidson Resilience Scala (CD-RISC) with Chinese People. Journal of Social Behavior and Personality. 2007. 35 (1), 19-30.
Southwick, P.C. 2001. The Tao of Resilience. http ://www.geocities.com/iona_m/ chaosophy4/Resilience/resilience.html.
Sarafino, E.P. 1997. Health Psychology. Third Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Sinar Harapan. 2003. Solusi Bagi Pasien Kanker Penderita Depresi. http: //www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0613/kes3.html.
Cohen, S., Syrne, S.L., 1985. Social Support and Health. London : Academic Pres Inc
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo.
Sinar Harapan. 2003. Solusi Bagi Pasien Kanker Penderita Depresi. http: //www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0613/kes3.html.
Cohen, S., Syrne, S.L., 1985. Social Support and Health. London : Academic Pres Inc
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo.
0 Response to "Pengertian Resiliensi, Definisi Konsep Jurnal Teori Psikologi"
Post a Comment