Peran Dan Kekuasaan Dpr Dalam Pengangkatan Duta Besar Ri

Pada naskah orisinil Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 13 ayat (1) menyebutkan "Presiden mengangkat duta dan konsul". Untuk itu pada masa kemudian pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden sepenuhnya, dimana duta merupakan wakil dari Presiden, diangakat dan diberhentikan Presiden serta merupakan bab dari pemerintah berada dibawah Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan politik dan relasi luar negeri sebagi wakil bangsa dan negara Republik Indonesia.

Judul Artikel Peran dan Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pengangkatan Duta Besar RI
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 13 ayat (2) menyebutkan "Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan penimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Makna dari pasal tersebut berarti telah memperlihatkan kewenangan kepada DPR untuk terlibat dalam pengangkatan duta yang semula yaitu hak prerogratif Presiden. Keterlibatan kiprah DPR sebagai mana dikemukakan dalam pasal diatas yaitu kewenangan memperlihatkan pertimbangan terhadap calon duta besar (dubes) yang telah diajukan Presiden sebelum penempatanya di negara sahabat. Sedangkan kewenangannya tersebut merupakan bab dari Pelaksanaan fungsi pengawasan dalam hal kegiatan pengangkata pejabat-pejabat negara yang memerlukan pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR

Sebelum melihat lebih jauh mengenai kiprah DPR dalam memperlihatkan pertimbangan, terlebih dahulu kita lihat dari mengembangkan sudut pandang yang berbeda namun satu sama lain sanggup saling bekerjasama sehingga sanggup menjelaskan maksud dari kewenangan DPR tersebut, yaitu; dari sudut politik, sudut historis, dan sudut hukum.


  • 1.    Dari  sudut politik,  kedudukan  DPR  sebagai  forum representasi  rakyat merupakan komponen utama politik dan kekuasaan, disisi lain dubes yang bertugas untuk melaksanakan relasi dan kerjasama dengan negara lain sebagi wakil     bangsa dan negara Republik Indonesia yang berarti juga membawa serta seluruh kepentingan rakyat. Maka guna mendapat duta yang dapat  mewakili  dan  mampu  memperhatikan  serta memperjuangkan kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh maka terhadap calon dubes yang akan ditempatkan paling tidak dilakukan hearing terlebih dahulu dengan DPR. Supaya duta-duta tersebut mengerti dan menangkap Semua pesan-pesan politik rakyat yang selanjutnya akan memperjuangkan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.

  • 2.    Dari sudut historis, Pada masa kemudian pengangkatan duta besar merupakan ajang menyingkirkan dan pembuangan lawan politik dari pemerintah, sehingga pada waktu itu ada istilah "di-dubes-kan". Pengangkatan duta terkesan merupakan pos kemudahan orang-orang tertentu sehingga aspek kualitas dan kepentingan diplomasi itu sangat terabaikan. Padahal duta merupakan alat negara untuk menjalin relasi dan kerjasama dengan negara peserta baik dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Begitu pentingnya arti duta besar bagi sebuah negara untuk kepentingan diplomasi bangsa dan supaya tidak terulang lagi pengangkatan dubes sebagi daerah buangan lawan politk, pensiunan, dan militer yang menjadikan tidak berbuat banyak dalam mejalankan tugasnya, maka telah terjadi akad bersama dikalangan wakil-wakil politik di MPR, bahwa demi meningkatkan kualitas dubes Indonesia hendaknya setiap calon dubes yang diajukan Presiden melibatkan juga kiprah DPR untuk membahas bersama melalui proses pertimbangan. Hal ini dilakukan supaya tidak lagi ada istilah "di-dubes-kan".

  • 3.    Dari sudut hukum, Peran DPR dalam memperlihatkan pertimbanga kepada setiap calon dubes yaitu hak yang diberikan oleh konstitusi. Hak ini diberikan sebagai bab dari kiprah DPR dalam fungsi pengawasan terhadap setiap kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang akan dijalanakan. Di negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensial secara mumi sekalipun dalam hal pengangkatan dubes harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari parlemen. Untuk itu kiranya sempurna bagi konstitusi Indonesia untuk melibatkan kiprah DPR dalam pengangkatan dubes sebelum ditempatkan di negara-negara sahabat. Dengan adanya prosedur pengangkatan dubes melalui pertimbangan DPR, diperlukan di masa tiba sosok duta besar RI yaitu benar-benar orang yang mempunyai kemampuan menjalankan kiprah dan perannya   secara   maksimal   sebagi   wakil   bangsa  di   negara   lain   untuk memajukan relasi dan kerjasama antara kedua negara.

Dari ketiga sudut pandang tersebut kiprah DPR dalam memperlihatkan pertimbangan terhadap calon dubes ternyata sangatlah perlu dan penting serta dijamin secara konstitusional. Hal ini guna meningkatkan kiprah duta besar sendiri dimata internasional dimana bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas, legalisasi serta kepercayaan dari negara-negara asing. Serta sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 wacana GBHN mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri, dimana perlunya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri serta meningkaatkan kulitas diplomasi supaya bisa melaksanakan diplomasi pro-aktif di segala bidang supaya membangun gambaran positif Indonesia di dunia internasional, yang pada ahirnya sanggup mempercepat pemulihan krisis ekonomi dan Pembangunan nasional.

Diplomasi sendiri merupakan perjuangan meyakinkan pihak/negara lain untuk sanggup memahami, membenarkan, mendukung pandangan dan kepentingan nasional kita dengan membutuhkan pengetahuan dan profesionalisme tampa perlu memakai kekerasan.

Dengan memperhatikan asas hukum, lex superion derogat legi in feriori, maka sanggup diketahui bahwa, semua peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar harus mengacu pada UUD. Kedudukan Undang-Undang Dasar sebagi aturan fudamental (grundnorm) untuk   dijadikan   hukum   dasar  bagi   pengaturaan   sebuah   negara,   maka  dalam Pelaksanaan pengangkatan Duta Besar RI pun harus merujuk pada aturan dasarnya, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 13 ayat (2) yang berkaitan dengan pengangkatan duta, Presiden haruslah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Pada masa kemudian pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak dapta dikontrol dan diawasi sehingga dalam pengangkatan duta telah mengabaikan unsur propesional dan tidak memperhatikan makna pentingnya duta di negara sahabat. Oleh alasannya yaitu itu, kekuasaan Presiden yang mutlak itu telah direduksi dengan mengamanatkan perlunya memperhatikan pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta.

Sedangkan pada tingkatan Undang-Undang hal mengenai pengangkatan duta merupakan sepenuhnya hak prerogratif Presiden, ini sanggup kita lihat dalam UU No. 37 Tahun 1999 wacana Hubungan Luar Negeri. Dimana dikatakan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden. Presiden sanggup melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri. Sedang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di angkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil langsung Presiden Republik Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan konstitusi kiprah DPR dalam pengangkatan dubes yaitu memperlihatkan pertimbangan. Dimulai dengan dipanggilnya calon duta untuk dilakukan dengar pendapat yang sepenuhnya dilakukan oleh Komisi I. Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum sebagai mana diatur dalam Tatib DPR RI Pasal 86, Komisi I melaksanakan clarification hearing bersama calon duta besar dengan memperlihatkan saran, masukan terhadap priroritas yang harus dikerjakan, titipan pesan yang perlu diperhatikan, catatan serta keberatan tapi bukan penolakan.

Berbeda dengan persetujuan, dalam hal pertimbangan yang dilakukan oleh Komisi I ini tidak perlu dilakukan fit and proper test terhadap calon yang akan ditempatkan dalam suatu jabatan. Fit and proper test sediri yaitu uji kelayakan ataupun kepatutan contohnya pada calon Hakim Agung atau anggota Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai data pribadi, klasifikasi terhadap visi dan misi kerja serta pengalaman dalam berkarir. Hasil uji kelayakan itu sangat memilih bagi lulus atau tidaknya terhadap calon yang melaksanakan uji tersebut dan sifatnya mengikat.

Setelah dilakuakan dengar pendapat yang dilakukan oleh Komisi I terhadap calon dubes, maka dilakukan diskusi intern di Komisi I untuk membahas hasil dari dengar pendapat untuk memperlihatkan evaluasi terhadap apa yang akan dijadikan pertimbangan. Kemudian hasil pertimbangannya dilaporkan kepada Pimpinan Dewan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia. Adapun kemudian untuk memperlihatkan pertimbangan kepada Presiden, Komisi I menciptakan kreteria dan dasar pertimbangan yaitu; 
  • Pertama, mempunyai kemampuan diplomasi yang meliputi komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. 
  • Kedua, mempunyai kemampuan  bahasa  minimal  bahasa  lnggris dan/atau  bahasa  setempat.  Ketiga, mempunyai latar pendidikan minimal strata satu (S1).
  • Kempat, mempunyai kemampuan profesional dan menajerial. 
  • Kelima, tidak cacat susila dan tidak ada indikasi korupsi, kongkalikong dan nepotisme. 
  • Keenam, mempunyai integritas dan loyalifas tinggi terhadap bangsa dan negara. 
  • Ketujuh, mempunyai pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya. 
Tetapi dari kreteria tersebut tidak bisa dijadikan contoh bagi lulus atau tidaknya calon Dubes yang diajukan oleh Presiden. Kewenangan DPR hanya memperlihatkan masukan sebaiknya seorang calon dubes bisa diangkat atau tidak diangkat dengan aneka alasan dan argumentasi.

Lebih jauh mengenai bentuk pertimbangan itu apakah sifatnya mengikat (imperatif), ataukah sekedar sukarela (fakultatif). Dengan pertimbangan yang diberikan DPR apakah sanggup menimbulkan akhir aturan tertentu apabila tidak dilaksanakan oleh Presiden. Menurut Satya Arinanto,(Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni 2002) dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, artinya bisa saja Presiden sehabis memperhatikan pertimbangan tersebut kemudian menciptakan pertimbangan sendiri. Lebih lanjut Satya menyampaikan tidak ada kewajiban mentaati yang ditimbulkan dari sebuah pertimbangan.

Kecuali itu memang pada setiap hasil dari pertimbangan DPR tersebut selalu diperhatiakan kemudian dilaksanakan oleh Presiden secara berulang-ulang sehingga telah menjadi konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Ismail Suny, konvensi ketatanegaraan sanggup diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga sanggup diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan hukum. Sedangkan K.C. Wheare beropini bahwa konvensi merupakan suatu praktek tertentu berjalan untuk jangka waktu yang usang bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal yang wajib. (Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, PSH. FH. UII, Yogyakarta, 1999, hlm 180 & 182) Dengan demikian, suatu prektek ketataneraan yang berulang ualang sanggup menjadi suatu yang wajib dan kemudian ditaati oleh penyelenggara negara sebagai bentuk perkembangan penyelenggaraan negara.

Namun demikian lantaran kewenangan DPR untuk memperlihatkan pertimbangan telah diatribusikan oleh konstitusi, dan hal itu bermakna sebagai implementasi dari fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden. Kemudian pelaku perubahan konstitusi kita telah melihat bahwa hak prerogratif Presiden dalam pengangkatan duta tanpa adanya kontrol dan pengawasan telah mengabaikan profesionalitas dan pentingnya diplomasi pada suatu negara. Untuk itu maka sebaiknya Presiden tetap memperhatikan pertimbangan DPR tersebut. Dalam hal lain yang perlu diperhatikan Presiden mengenai resiko politik yang harus ditanggung, apabila contohnya calon dubes yang oleh DPR disarankan tidak dingkat, tetapi dengan pertimbangannya Presiden tetap mengangkat dubes tersebut. Hal ini seandainya di tengah-tengah tugasnya dubes tersebut melaksanakan kesalahan, tindakan lain yang merugikan bangsa dan negara atau telah gagal menjalankan amanat negara, maka Presiden sanggup dipertanyakan dalam hal itu, bahkan DPR bisa saja mengunakan salah satu haknya, yaitu mengajukan hak iterpelasi Presiden misalnya.

 Untuk itu pada masa kemudian pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden sepenuhnya Peran dan Kekuasaan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar RI


Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintah yang sebetulnya lebih memilih dalam hal pengangkatan duta besar, ini lebih dikarenakan diplomasi merupakan wilayah eksekutif. Dan juga Presiden-lah dengan Menteri Luar Negeri sebagi pembantu Presiden serta lewat Departemen Luar Negeri-nya yang dianggap paling mengetahui dan mengerti wacana politik dan relasi luar negeri suatu bangsa. Akan tetapi diberbagi negara menyerupai Amerika Serikat dalam hal pengangkatan dubes turut juga melibatkan kiprah parlemen. Bagi setiap calon dubes yang akan ditempatkan terlebih dahulu dilakukan hearing ataupun dengar pendapat dengan parlemen, walaupun kiprah DPR sebatas exchange of views wacana prioritas yang harus dijalankan dan diperhatikan oleh setiap calon duta besar.

Daftar Pustaka Artikel Peran dan Kekuasaan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar RI akan anda temukan diakhir kutipan dalam penulisan menyerupai footnote

0 Response to "Peran Dan Kekuasaan Dpr Dalam Pengangkatan Duta Besar Ri"

Post a Comment